Sepuluh Film Lawas Indonesia Terbaik

FILM

Film adalah media yang baik untuk menangkap sejarah. Film merekam dengan baik proses budaya suatu masyarakat lalu menyajikannya dalam bentuk gambar hidup, bisu atau pun bersuara. Film berfungsi di antaranya adalah sebagai media informasi dan juga sebagai media sosial karena melalui film, masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat di suatu tempat pada masa tertentu.

Film di Indonesia mencapai kejayaannya pada era 70-an sampai 80-an, yaitu sebelum berdirinya stasiun-stasiun televisi swasta. Namun, film sebenarnya sudah sangat lama ada di Indonesia, yaitu diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di Tanah Abang, dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film bisu. Kemudian pada tahun 1926, untuk pertama kali film dibuat di Indonesia, adalah film bisu yang berjudul Loetoeng Kasaroeng yang dibikin oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp.

Mempelajari sejarah film, budaya, dan apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada saat tertentu, pasti kita tak lepas dari film-film lawas. Nah, setelah pada tulisan sebelumnya saya menulis tentang film Indonesia terbaik periode 2000-an ke atas versi saya, kini saatnya saya menyortir sepuluh film jadul kita yang layak untuk ditonton. Berikut ini daftarnya:

10. Perkawinan (1972)

Menceritakan tentang Mas Tok (Sophan Sophiaan), anak seorang ningrat kaya yang sedang belajar di Belanda berjumpa dengan Inge (Widyawati), seorang karyawati biro perjalanan Nitour. Mereka menikah, namun tak kunjung memiliki anak karena penyakit yang diderita oleh Mas Tok. Ketika mereka kembali ke Indonesia, pasangan ini tak disukai oleh orang tua Mas Tok sebab Mas Tok sudah dijodohkan dengan gadis lain. Untungnya si gadis itu sudah memiliki pacar, sehingga kawin paksa urung dilakukan.

Kemudian Mas Tok kembali ke Eropa untuk proses penyembuhan penyakitnya. Selama waktu itu, Inge diusir mertuanya karena hamil. Ia dianggap main serong. Ketika Mas Tok kembali dan tak menemui istrinya, ia menyalahkan orang tuanya, karena sebetulnya bayi itu adalah anaknya. Dalam hujan salju, Mas Tok kembali menemui Inge, persis seperti pada awal pertemuan, kali ini disaksikan oleh orang tua Mas Tok.

Film yang disutradarai oleh Wim Umboh ini memenangkan Piala Citra sebagai Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Skenario Terbaik, Editing, Fotografi, Musik, Suara, dan Artistik Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1973.

9. Badai Pasti Berlalu (1977)

Badai Pasti Berlalu menceritakan tentang Siska (Christine Hakim) yang patah hati karena pacarnya membatalkan perkawinan mereka dan menikahi gadis lain. Siska yang kehilangan semangat hidup memutuskan keluar dari pekerjaannya dan hidup menyendiri. Kemudian datanglah Leo (Roy Marten), mahasiswa kedokteran yang mencoba mendekati Siska demi pertaruhan.

Siska yang semangat hidupnya sudah kembali, lagi-lagi patah hatinya begitu mengetahui bahwa usaha Leo hanya demi uang pertaruhan dengan kawan-kawannya. Kisah menjadi semakin runyam dengan hadirnya Helmy (Slamet Rahardjo) di kehidupan Siska. Pianis yang pernah belajar ke luar negeri inilah yang akhirnya mengawinin Siska dengan todongan pemerasan, sebab ayah Siska mempunyai gundik, yaitu adik Helmy sendiri. Badai demi badai melanda hidup Siska. Namun, pada akhirnya memang badai pasti berlalu.

Film karya Teguh Karya ini mendapat Piala Citra di FFI 1978 di kategori Fotografi, Editing, Suara, dan Musik. Film yang dibuat berdasar novel karya Marga T. berjudul sama dan dibuat ulang pada tahun 2007 ini juga mendapatkan Piala Antemas karena menjadi film terlaris kedua pada periode 1977 – 1979 dengan 212.551 penonton (film terlaris ditempati oleh film Akibat Pergaulan Bebas).

8. Pengkhianatan G-30-S PKI (1982)

Pengkhianatan G-30-S PKI adalah sebuah dokudrama yang kisahnya begitu meyakinkan dari sudut pandang tertentu. Film ini mengisahkan tentang peristiwa masa-masa bergantinya Orde Lama ke Orde Baru, yaitu tentang kudeta yang terjadi seputar tanggal 30 September 1965 oleh Kol. Untung (Bram Adrianto), Komandan Batalyon Candra Birawa. Tujuh jenderal terbunuh dalam peristiwa ini, kemudian tampillah Mayjend Soeharto (Amoroso Katamsi) sebagai penyelamat.

Menurut data Perfin, film ini menjadi film terlaris pada masanya dengan jumlah penonton 699.282 orang. Jumlah ini menjadi rekor tersendiri dan tidak terpecahkan sampai tahun 1995. Film ini kemudian menjadi tayangan wajib yang selalu diputar oleh televisi pada malam tanggal 30 September setiap tahunnya sebagai program propaganda pemerintah Orde Baru. Namun mulai September 1998 (tahun lengsernya presiden Soeharto), Menpen Yunus Yosfiah mengumumkan bahwa film ini tidak akan diputar dan tak diedarkan lagi karena berbau rekayasa sejarah. Meski saya setuju bahwa film ini memang dibuat sebagai corong pemerintah untuk mencitrakan baik tentang Soeharto dan membunuh citra PKI (Partai Komunis Indonesia) yang menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia pada masa itu, dari segi cerita dan berbagai aspek yang mendukung film ini, film ini adalah film yang sangat fenomenal yang pernah dibuat di Indonesia.

Film yang disutradarai Arifin C Noer dan skenario yang ditulisnya sendiri ini mendapat Piala Citra di FFI 1984 untuk skenarionya, dan mendapat Piala Antemas di FFI 1985 sebagai film paling banyak ditonton pada saat itu.

7. Gengsi Dong (1980)

Pernah lihat pesawat terbang bisa terbang mundur? Pernah dengar spesies monyet bau, kadal bintit, muka gepeng, kecoa bunting, babi ngepet, dinosaurus, brontosaurus? Pernah dengar lagu Jepang terlaris pada masanya berjudul Sukiyaki diacak-acak liriknya oleh Kasino dan bikin kita tertawa terpingkal-pingkal? Semua itu hanya ada di film-filmnya Trio Warkop Dono, Kasino, Indro (DKI).

Rasanya kurang lengkap jika saya tidak menaruh film Warkop DKI ke dalam jajaran film-film terbaik Indonesia. Film-film Warkop DKI yang biasanya beredar di bioskop untuk menyambut Hari Lebaran atau Tahun Baru Masehi adalah yang terbaik di genre-nya. Meski di beberapa film, mereka menjual komedi slapstick dan adegan vulgar demi menjaring penonton bioskop (di film Bisa Naik Bisa Turun, ada scene Indro bertanya ke Dono, “Kalau adegan pantai batal, lo mau tanggung jawab kalau penonton marah?” Lalu Dono menjawab, “Iya yah, kan di sini komersilnya.”), film-film mereka juga diselipi dengan kritik-kritik sosial khususnya untuk pemerintah pada masa itu. Dan jika harus memilih film terbaik trio yang mengawali karir di Radio Prambors ini, saya memilih film Gengsi Dong sebagai film terbaik mereka.

Gengsi Dong adalah film kedua Warkop DKI di antara 30-an lebih judul film yang pernah mereka bintangi. Menceritakan tentang tiga mahasiswa di Jakarta yang selalu bersaing masalah perempuan dan gengsi. Dono yang berperan sebagai Slamet, adalah anak juragan tembakau terkaya di daerahnya, sedangkan Kasino yang memerankan Sanwani adalah anak pemilik bengkel sehingga mobil yang digunakannya selalu berganti-ganti, dan Indro berperan sebagai Paijo yang konon adalah anak dari seorang pengusaha minyak, berbagai macam jenis minyak. Mereka bertiga memperebutkan seorang perempuan bernama Rita (Camelia Malik) yang merupakan anak dari seorang dosen di mana mereka kuliah.

Di film ini, ada banyak sindiran dan kritik sosial tentang kebanggaan kelas sosial di masyarakat dan juga kritik terselubung yang tentu saja untuk pemerintah. Film Gengsi Dong ini adalah film Warkop DKI yang bisa dikatakan masih lurus, tak banyak dibumbui adegan slapstick semacam Dono kepleset atau Indro yang kakinya masuk got, dan juga tak ada adegan pantai yang penuh dengan wanita berbikini. Namun begitu, film ini tetap tak kalah menghibur dibanding film-film mereka lainnya.

6. Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985)

Sebuah skenario cerdas yang dibuat oleh Asrul Sani, pengarahan yang kuat dari Chaerul Umam, sang sutradara, dan dilengkapi akting yang baik oleh Deddy Mizwar, Lydia Kandou, Ully Artha, dan Ikranagara, maka hasilnya, film ini menjadi salah satu film komedi terbaik yang pernah dibuat oleh sineas kita.

Kejarlah Daku Kau Kutangkap adalah sebuah cerita kocak tentang cinta dan gengsi. Cerita berawal dari Mona (Lydia Kandou) yang seharusnya mendapat hadiah uang karena potretnya terkena lingkaran dalam sebuah rubrik. Tapi atas hasutan Marni (Ully Artha) temannya, Mona malah menuntut juru potret itu, Ramadhan (Deddy Mizwar) dengan alasan fotonya jelek. Panji (Usbanda), pemimpin redaksi, minta agar Ramadhan dapat menggagalkan niat Mona. Ramadhan berhasil, bahkan Ramadhan dan Mona akhirnya menikah. Kisah demi kisah terjadi dalam rumah tangga mereka. Tak jarang mereka cekcok yang mengakibatkan mereka terpisah lantaran besarnya gengsi di antara mereka. Namun cinta akhirnya mengalahkan segalanya.

5. Naga Bonar (1986)

Asrul Sani lagi-lagi membuktikan kepiawaiannya sebagai salah satu penulis cerita terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini. Bekerjasama dengan MT Risyaf, sang sutradara, Asrul yang pandai menghadirkan dialog yang memicu tawa, berhasil membuat sebuah film yang dialog-dialognya banyak mengandung makna luhur. Adalah Naga Bonar judul film tersebut.

Naga Bonar (Deddy Mizwar) adalah seorang bekas pencopet di Medan yang sering keluar-masuk penjara. Ia adalah seorang yang naif dan nekad, namun setia kawan dan jujur. Ia mengangkat dirinya sendiri sebagai komandan sebuah laskar untuk berjuang melawan Belanda. Naga Bonar pun menjadi tentara garis depan dalam perlawanan terhadap Belanda.

Kisah Naga Bonar yang disajikan dalam film ini, yaitu kisah cintanya pada Kirana (Nurul Arifin), kisah persahabatannya dengan Bujang (Afrizal Anoda), dan sikap patuhnya terhadap ibunya (Roldiah Matulessy) begitu kocak dan menarik untuk diikuti. Film ini diakhiri dengan orasi Naga Bonar dan Kirana kepada pemuda Indonesia.

Film yang memborong 7 Piala Citra di FFI 1987 ini diedarkan kembali di bioskop pada tahun 2008 setelah di-re-master. Naga Bonar ditayangkan lagi karena permintaan yang deras dari para penonton film Naga Bonar Jadi 2 (2007) yang ingin melihat kembali film Naga Bonar di bioskop.

4. November 1828 (1978)

November 1828 adalah film yang disutradarai oleh Teguh Karya. Menceritakan tentang sebuah kelompok penduduk desa di Jawa yang memberontak melawan pemerintahan penjajahan. Film ini mengisahkan tentang kesetiaan dan pengkhianatan. Ide cerita diilhami dari drama Monsterrat.

Film November 1828 ini dimulai ketika Kapten Van der Borst (Slamet Rahardjo), disertai pasukannya, berusaha mengorek informasi tentang lokasi persembunyian Sentot Prawirodirdjo, tangan kanan Pangeran Diponegoro. Jayengwirono, seorang demang gila jabatan, memberitahukan bahwa Kromoludiro lah yang mengetahui informasi tersebut. Kromoludiro pun ditangkap, ditawan di rumahnya sendiri, dan dengan disanderanya anak istrinya, ia dipaksa membuka mulut.

Film ini meraih Piala Citra di Festival Film Indonesia 1979 untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Teguh Karya), Fotografi (Tantra Surjadi), Musik (Franki Raden, Sardono W Kusumo, Slamet Rahardjo), Artistik (Benny Benhardi, Slamet Rahardjo), dan Pemeran Pembantu Pria Terbaik (El Manik).

3. Tjoet Nja Dhien (1986)

Setelah terlibat di beberapa pembuatan film, akhirnya Eros Djarot menyutradarai sendiri sebuah film. Adalah film besar Tjoet Nja Dhien yang dibintangi oleh Christine Hakim, yang membuatnya Christine Hakim sendiri menjadi legenda gara-gara aktingnya yang prima di film ini. Berkat perannya sebagai Tjoet Nja Dhien, setiap aktris muda menyebutnya sebagai panutan atau bintang idola. Film debut penyutradaraan Eros Djarot ini sendiri konon memerlukan waktu dua tahun untuk menyelesaikannya.

Film Tjoet Nja Dhien tak melulu berisi uraian biografis kehidupan pahlawan dari Aceh itu. Melainkan juga berisi drama, pengkhianatan, perjuangan, dan kebesaran jiwa dalam menerima penderitaan hidup. Menceritakan tentang Teuku Umar (Slamet Rahardjo) yang memimpin rakyat Aceh dalam memerangi Belanda, didampingi istrinya Tjoet Nja Dhien (Christine Hakim), dan putrinya Tjoet Gambang (Hendra Yanuarti). Teuku Umar tewas tertembak musuh, dengan tabah Tjoet Nja Dhien kemudian menggantikannya sebagai panglima perang. Setelah mengalami berbagai pertempuran, Tjoet akhirnya melemah dan akhirnya buta.

Film ini mendapatkan 8 Piala Citra di FFI 1988 dan menjadi salah satu film terlaris pada masanya dengan jumlah penonton 214.458, menurut data Perfin.

2. Lewat Djam Malam (1954)

Menceritakan tentang Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan. Iskandar (A.N. Alcaff), memutuskan untuk meninggalkan dinas ketentaraan untuk kembali kepada masyarakat sebagai penduduk sipil, ia mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah asing baginya. Tapi, ketika ia berusaha menghubungi mantan kawan-kawannya dari dinas ketentaraan untuk mencari pekerjaan, ia baru mengetahui bahwa korupsi telah merajalela dengan mengatasnamakan perjuangan. Ia muak dengan kekayaan dan cara-cara bisnis yang dilakukan oleh kawannya.

Melihat hal itu, Iskandar marah bukan main sehingga ia menyekap salah satu kawannya, Gunawan (Rd Ismail) sebagai seorang tawanan. Ia memaksa Gunawan untuk mengakui kesalahannya akan korupsi yang telah dilakukan dan Iskandar melihatnya sebagai usaha untuk menegakkan keadilan dan kemurnian perjuangan yang telah mereka raih dengan susah payah. Namun Gunawan menolak mengaku dan tidak menganggap ancaman Iskandar dengan serius walaupun Iskandar telah menodongnya dengan senapan. Karena marah, Iskandar menarik pelatuk senapan tersebut sehingga Gunawan tewas tertembak. Terkejut oleh tindakannya sendiri, Iskandar bingung dan kemudian lari, ia lupa akan jam malam yang telah ditetapkan. Ia mencoba kembali ke rumah Norma (Netty Herawati), kekasihnya. Akibatnya, ia tertembak oleh pasukan jaga jam malam dan meninggal di depan pintu rumah Norma.

Film ini adalah sebuah kritik yang tajam mengenai para pejuang kemerdekaan pasca perang. Di akhir film ini dibubuhkan kalimat, “Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besar pengorbanan nyawa mereka, supaya kita yang hidup pada saat ini dapat menikmati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri.”

Lewat Djam Malam meraih penghargaan bersama sebagai Film Terbaik di pertama kali penyelenggaraan Festival Film Indonesia, yaitu tahun 1955 bersama dengan film Tarmina (produksi 1954, disutradarai oleh Lilik Sudjio). Lewat Djam Malam juga mendapat penghargaan di kategori Pemeran Utama Pria, Pemeran Utama Wanita, dan Pemeran Pembantu Pria di ajang yang sama.

Film ini diputar kembali pada Juni 2012 setelah melalui proses restorasi di Laboratorium L’Immagine Ritrovata, Italia, bekerjasama dengan National Museum of Singapore (NMS) dan World Cinema Foundation. Film ini juga diputar pada pembukaan sub-festival Cannes Clasic dalam ajang Festival de Cannes 2012 di Cannes, Perancis.

1. Darah dan Doa (1950)

Mengisahkan perjalanan panjang prajurit Indonesia yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Rombongan hijrah prajurit dan keluarga itu dipimpin oleh Kapten Sudarto (Del Juzar). Sepanjang perjalanan, mereka menjumpai berbagai ketegangan dalam menghadapi serangan dari musuh, Belanda. Juga ketakutan dan penderitaan lainnya. Tak ketinggalan disinggung adanya pengkhianatan. Perjalanan diakhiri dengan telah diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara penuh pada 1950. Kisah ini disajikan dalam bentuk narasi.

Film Darah dan Doa (The Long March) berfokus pada Kapten Sudarto yang digambarkan bukan sebagai pahlawan, tetapi sebagai manusia biasa. Meski sudah beristri di tempat tinggalnya, selama di Yogyakarta dan dalam perjalanannya ia terlibat cinta dengan dua gadis lain. Ia sering tampak seperti peragu. Pada waktu keadaan damai datang, ia malah harus menjalani penyelidikan, karena adanya laporan dari anak buahnya yang tidak menguntungkan dirinya sepanjang perjalanan. Ia memilih tidak memenuhi panggilan penelitian dan memilih keluar dari tentara. Film diakhiri dengan ditembaknya Sudarto oleh anggota partai komunis yang diperanginya waktu terjadi Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun (1948). Suatu hal yang secara prinsip ditentangnya karena berarti perang saudara. Revolusi juga memakan korban anaknya sendiri.

Film ini memiliki arti penting dalam sejarah film nasional. Meski film cerita pertama yang dibikin di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng (1926), salah satu keputusan konferensi kerja Dewan Film Indonesia dengan organisasi perfilman pada 11 Oktober 1962, menetapkan hari syuting pertama The Long March (30 Maret) sebagai Hari Film Indonesia. Ini karena pada tanggal tersebut pada tahun 1950, untuk pertama kalinya Indonesia membuat sebuah film di mana sutradara, sebagian besar pekerjanya, dan rumah produksinya adalah bukan dari pihak asing.

Demikian saya buatkan daftar sepuluh film lawas Indonesia yang layak untuk ditonton. Daftar ini tentu saja subyektif dan dibuat berdasarkan selera saya sendiri. Film-film tersebut bisa Anda tonton di Youtube, di Sinematek, atau di program pemutaran yang diselenggarakan oleh lembaga perfilman, atau lembaga-lembaga lain. Selamat menonton!

Dedo Dpassdpe
Penonton Film
Ditulis dengan merangkum dari berbagai sumber

Hari Film Nasional

film

Tanggal 30 Maret, oleh kalangan perfilman Indonesia dirayakan sebagai Hari Film Nasional. Ini lantaran pada tanggal tersebut pada tahun 1950, untuk pertama kalinya Indonesia membuat sebuah film di mana sutradara, sebagian besar pekerjanya, dan rumah produksinya adalah bukan dari pihak asing. Pada tanggal itu dilakukan syuting hari pertama film Darah dan Doa (The Long March) yang disutradarai dan diproduksi oleh orang asli Indonesia, yakni Usmar Ismail melalui Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Meski Darah dan Doa bukan film pertama yang dibuat oleh Usmar, namun ia sendiri menganggap bahwa karya pertamanya adalah film Darah dan Doa. Dua film sebelumnya yang berjudul Harta Karun dan Tjitra (keduanya diproduksi tahun 1949), tidak benar-benar diakui sebagai sebuah karya milik Usmar sendiri. Ia mengatakan, “…tak dapat saya katakan bahwa kedua film itu adalah film saya, (sebab) pada waktu penulisan dan pembuatannya, saya banyak sekali harus menerima petunjuk-petunjuk (dari pihak produser) yang tak selalu saya setujui.”

Setelah Usmar Ismail membuat film Harta Karun dan film Tjitra, ia mengundurkan diri dari perusahaan Belanda yang memproduksi film-film tersebut, South Pacific Film Corporation. Ia mengatakan bahwa pihaknya mendapatkan kebebasan hanya dalam memilih cerita belaka, tapi tidak dalam hal-hal lain. Ia menginginkan, media film ini harus digunakan oleh seniman Indonesia sebagai alat pengucapan baru. Sebagai sebuah alat perjuangan. Maka pada bulan Maret 1950, Usmar Ismail bersama kawan-kawannya mendirikan Perfini. Lewat Perfini, Usmar kemudian membuat film yang dianggap sebagai hasil karya pertamanya, Darah dan Doa. Usmar mengatakan film ini tidak tergantung pada soal komersial. Menurut ia, film haruslah merupakan hasil karya seni yang bebas dan harus bisa mencerminkan kepribadian nasional. Pokok pikiran inilah yang menjadi dasar ditetapkannya tanggal 30 Maret, hari pertama syuting Darah dan Doa, sebagai Hari Film Nasional oleh Dewan Film Indonesia sejak tahun 1962 meski film cerita pertama yang dibikin di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng (1926). Namun pengakuan resmi pemerintah baru terjadi pada tahun 1999, setelah ditandatanganinya Keppres no 25/1999 oleh Presiden Habibie.

Sebagai seorang yang menggemari film nasional, saya tentu tertarik untuk menonton film-film jadul buatan negeri sebelum era yang disebut sebagai mati surinya perfilman Indonesia yaitu pada periode 1990an. Film-film lawas sebelumnya hanya saya saksikan di televisi jika stasiun televisi itu menayangkan, yaitu semacam film Warkop DKI, film-filmnya Rhoma Irama, film-film Barry Prima, Suzanna, Benyamin Sueb, dan yang wajib ditonton sebagai alat propaganda pemerintah pada waktu itu adalah film Pengkhianatan G-30-S PKI. Saya pun menyusun sepuluh film lawas Indonesia favorit saya. Namun sebelum saya mengajak jauh kita untuk menyimak film-film lawas favorit saya, terlebih dahulu kita menyimak film-film Indonesia terbaik era 2000an ke atas versi saya. Berikut ini daftarnya:

10. Petualangan Sherina

Terkenal sebagai penyanyi anak-anak tetapi dengan lagu-lagu yang tidak cuma untuk anak-anak, Sherina dimanfaatkan untuk menjadi bintang dalam film musikal ini. Petualangan Sherina menceritakan tentang Sherina sekeluarga yang pindah rumah ke daerah Bandung karena ayahnya, Darmawan (Mathias Muchus) mendapatkan kerja di bidang pertanian di sana. Di sekolah baru, ia mendapatkan teman sekaligus musuhnya yaitu Sadam (Derby Romero), yang ternyata adalah anak dari Ardiwilaga (Didi Petet) majikan Darmawan, ayah Sherina. Cerita berkembang menjadi sebuah petualangan ketika Sherina dan Sadam diculik oleh orang-orang suruhan Kertarajasa (Djaduk Ferianto), orang yang ingin menguasai perkebunan Ardiwilaga.

Petualangan Sherina menjadi pelopor bergairahnya kembali perfilman Indonesia modern, setelah pada periode 1990an film nasional kita hanya diisi oleh film-film yang ceritanya melulu adegan ranjang saja.

9. Lari dari Blora

Tidak banyak yang tahu film ini. Saya sendiri menonton film ini secara tidak sengaja. Ketika itu sedang demam ibu-ibu berjilbab membludak membanjiri bioskop untuk menonton film fenomenal Ayat-Ayat Cinta. Saya pun tertarik untuk ikut mengantre, namun memang pada saat itu film Ayat-Ayat Cinta sedang laris-larisnya jadi sangat susah untuk mendapatkan tiket film itu. Ketimbang ikut mengantre yang panjangnya tidak keruan dan belum tentu mendapat tiket, saya bergeser ke loket sebelah dan membeli tiket film Lari dari Blora. Saat masuk ke studio, hanya ada tiga orang saja yang menonton film Lari dari Blora ini, yaitu saya, dan dua orang pasangan yang duduk di depan yang di pertengahan film keluar ruangan tak tahan dengan membosankannya film ini. Film ini, sebagaimana kebanyakan film-film bagus lainnya, cenderung membosankan.

Lari dari Blora menceritakan tentang Cyntia (Annika Kuyper), aktivis LSM dari Amerika, yang datang ke wilayah antara Pati dan Blora (Jawa Tengah) untuk melakukan penelitian terhadap masyarakat Samin, dan Ramadhian (Iswar Kelana), seorang guru yang berusaha menyekolahkan anak-anak samin namun ditentang oleh Lurah setempat dengan alasan ingin tetap melestarikan Samin sebagai Cagar Budaya. Pertemuan antara Cyntia dan Ramadhian menyebabkan terjalinnya hubungan antara Ramadhian dan Cyntia. Pada saat bersamaan, dua penjahat kabur dari penjara Blora dan memilih kampung tersebut sebagai tempat persembunyian. Konfilk demi konflik muncul di masyarakat Samin. Tersebar isu bahwa Samin menjadi sarang penjahat dan berpotensi menjadi sarang teroris. Mereka mencurigai tetua desa, Simbah (WS Rendra), dan warga Samin melindungi pelarian. Akhirnya, sebuah operasi keamanan pun digelar secara besar-besaran di sana.

8. Ayat-Ayat Cinta

Film ini menceritakan tentang Fahri bin Abdillah (Fedi Nuril) pelajar Indonesia yang berusaha menggapai gelar masternya di Al-Azhar, Mesir. Fahri adalah laki-laki taat yang begitu lurus dan tidak mengenal pacaran sebelum menikah. Kepindahannya ke Mesir membuat hal itu berubah. Tersebutlah Maria Girgis (Carissa Puteri), tetangga satu flat yang beragama Kristen Koptik tapi mengagumi Al-Quran, dan tentu saja mengagumi Fahri. Kekaguman yang berubah menjadi cinta. Sayang, cinta Maria hanya tercurah dalam diari saja. Kemudian Nurul (Melanie Putria), anak seorang kyai terkenal di Jawa Timur. Sebenarnya Fahri menaruh hati pada gadis manis ini. Sayang rasa mindernya yang hanya anak keturunan petani membuatnya tidak pernah menunjukkan rasa apa pun pada Nurul. Sementara Nurul pun menjadi ragu dan selalu menebak-nebak. Lalu ada Noura (Zaskia Adya Mecca), seorang tetangga yang selalu disiksa ayahnya sendiri. Fahri berempati penuh dengan Noura dan ingin menolongnya. Sayang hanya empati saja. Tidak lebih. Namun Noura yang mengharap lebih. Nantinya, ini menjadi masalah besar ketika Noura menuduh Fahri memperkosanya.

Terakhir, Aisha (Rianti Cartwright). Si mata indah yang menyihir Fahri sejak sebuah kejadian di metro, saat Fahri membela Islam dari tuduhan kolot dan kaku. Aisha jatuh cinta pada Fahri. Dan Fahri juga tidak bisa membohongi hatinya.

Film Ayat-Ayat Cinta adalah film religi hasil adaptasi dari sebuah novel karya Habiburrahman El Shirazy berjudul Ayat-Ayat Cinta. Film ini konon sudah dibajak bahkan sebelum tayang di bioskop. Namun begitu, film ini mampu menarik setidaknya 3,6 juta penonton dan menjadi film Indonesia paling banyak ditonton selain Laskar Pelangi.

7. Laskar Pelangi

Film Laskar Pelangi ini diadaptasi dari novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Film ini digarap oleh Riri Riza dan Mira Lesmana yang sebelumnya juga membuat film anak-anak, Petualangan Sherina. Skenarionya ditulis oleh Salman Aristo yang juga menulis naskah film Ayat-Ayat Cinta dibantu oleh Riri Riza dan Mira Lesmana. Hingga Maret 2009, Laskar Pelangi telah ditonton oleh 4,6 juta orang dan menjadi film Indonesia terlaris.

Kisah dimulai di sebuah SD Muhammadiyah di pulau Belitong, sebuah sekolah dengan keadaan yang serba kekurangan. Sekolah ini hanya memiliki ruang kelas kecil-kecil dengan atap bocor, berdinding kayu, berlantai tanah, dan jika malam dipakai untuk menyimpan ternak. Dari keadaan yang demikian tidak ada orang tua kaya yang mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah itu. Hanya orang tua miskin yang mau menyekolahkan anaknya di sana karena sekolah ini memang tidak menarik biaya.

Laskar Pelangi, adalah nama yang diberikan Bu Mus (Cut Mini) untuk siswa-siswanya yang berjumlah sepuluh ini. Banyak kisah-kisah yang sangat menyentuh dan penuh inspirasi yang dialami oleh anggota Laskar Pelangi. Lintang, seorang anak pesisir miskin harus mengayuh sepedanya sejauh 80 kilometer pulang pergi untuk merasakan nikmatnya pendidikan. Tak jarang ia menjumpai buaya sedang berjemur saat melintasi rawa yang merupakan rute perjalanannya, namun ia tidak pernah membolos hanya karena alasan buaya. Anak pesisir ini diceritakan sebagai anak yang terlahir dengan kejeniusan tinggi, siswa SD Muhammadiyah yang mampu mengharumkan nama sekolahnya dalam lomba cerdas cermat di kecamatan, ia melahap semua pertanyaan matematika tanpa menggunakan alat bantu, soal baru selesai dibacakan dengan seketika jawaban meluncur dari mulut Lintang.

Di akhir kisah, Ikal, tokoh ‘aku’ dalam film ini mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Sorbone University, Perancis. Meskipun tak seberuntung Ikal, Lintang mampu mewujudkan keinginan ayahnya untuk tidak menjadi nelayan seperti sang ayah. Ia menjadi supir truk, namun tetap dengan kecerdasan yang masih tak tertandingi oleh siapa pun, termasuk Ikal sendiri.

Film ini mengajarkan pada kita bahwa cita-cita, semangat hidup, dan keikhlasan dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik.

6. Gie

Lagi-lagi kerjasama antara Riri Riza dan Mira Lesmana menghasilkan film yang luar biasa. Kali ini adalah Gie, sebuah film yang mengisahkan seorang tokoh bernama Soe Hok Gie, mahasiswa Universitas Indonesia yang lebih dikenal sebagai demonstran dan pecinta alam. Film ini diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie sendiri, namun ditambahkan beberapa tokoh fiktif agar ceritanya lebih dramatis. Pada Festival Film Indonesia 2005, Gie memenangkan tiga penghargaan, masing-masing dalam kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik (Nicholas Saputra), dan Penata Sinematografi Terbaik (Yudi Datau).

Saya sendiri mengenal tokoh idealis bernama Soe Hok Gie melalui film ini. Gie, yang kemudian saya baca karya-karya puisinya, adalah seorang pemuda yang begitu menginginkan perubahan. Meninggal di usia muda (hampir 27 tahun), Gie yang meninggalkan karya besarnya, Catatan Seorang Demonstran, sangat layak kisahnya untuk difilmkan.

Film ini menceritakan tentang Soe Hok Gie, seorang yang dibesarkan di sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang tidak begitu kaya yang tinggal di Jakarta. Sejak remaja, Gie sudah mengembangkan minat terhadap konsep-konsep idealis yang dipaparkan oleh intelek-intelek kelas dunia macam Tolstoy, Camus, Marx, Engels, dll. Semangat pejuangnya, kesetiakawanannya, dan hatinya yang dipenuhi kepedulian sejati akan orang lain dan tanah airnya membaur di dalam diri Gie kecil dan membentuk dirinya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan memimpikan Indonesia yang didasari oleh keadilan dan kebenaran yang murni.

Masa remaja dan kuliah Gie dijalani di bawah rezim pelopor kemerdekaan Indonesia Bung Karno, yang ditandai dengan konflik antara militer dengan PKI. Gie dan teman-temannya bersikeras bahwa mereka tidak memihak golongan mana pun. Meski pun Gie menghormati Sukarno sebagai founding father negara Indonesia, Gie membenci pemerintahannya yang diktator dan menyebabkan hak rakyat yang miskin terinjak-injak. Gie tahu banyak tentang ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kedaulatan, dan korupsi di bawah pemerintahan Sukarno, dan dengan tegas bersuara menulis kritikan-kritikan yang tajam di media.

Gie dan teman-temannya menghabiskan waktu luang mereka naik gunung dan menikmati alam Indonesia yang asri dengan Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) UI. Selain itu, mereka juga gemar menonton dan menganalisa film, menikmati kesenian-kesenian tradisional, dan menghadiri pesta-pesta.

5. Cahaya dari Timur

Cahaya dari Timur bercerita tentang Sani Tawainella (Chicco Jericho) yang ingin menyelamatkan anak-anak di kampungnya dari konflik horizontal yang terjadi di Ambon melalui sepakbola. Di tengah kesulitan hidup serta pilihan antara keluarga atau tim sepakbolanya, Sani ditugaskan membawa timnya mewakili Maluku di kejuaraan nasional. Namun keputusannya membaurkan anak-anak yang berbeda agama dalam satu tim justru menyebabkan perpecahan. Namun pada akhirnya, dengan semangatnya, ia berhasil menyatukan anak-anak melalui sepakbola.

Film yang diproduseri oleh penyanyi asal Ambon, Glenn Fredly ini menjadi film bioskop terbaik di Festival Film Indonesia 2014 mengalahkan film besar lainnya yang tayang pada tahun tersebut, Soekarno.

4. Lovely Man

Film tentang transgender ini pertama kali diputar di Q! Film Festival 2011 dan hanya bertahan beberapa hari, karena mendapat kecaman dari Front Pembela Islam. Tetapi di tingkat Asia, khususnya di Festival Film Asia yang ke-6, Donny Damara berhasil menjadi Aktor Terbaik dan Teddy Soeriaatmadja dinominasikan sebagai Sutradara Terbaik.

Film ini menceritakan tentang Cahaya (Raihaanun), gadis pesantren yang pergi ke Jakarta untuk mencari bapaknya, Syaiful (Donny Damara), yang meninggalkan rumah ketika Cahaya masih kecil. Sesampainya di ibukota, Cahaya menemukan bahwa bapaknya jauh dari harapannya. Syaiful ternyata setiap malam bekerja sebagai waria dengan nama Ipuy.

Menurut Teddy, film Lovely Man ini digarapnya hanya dalam kurun waktu kurang dari satu bulan dengan biaya yang sangat minim dan bahkan sering kali harus kejar-kejaran dengan petugas.

3. Ada Apa dengan Cinta?

Jika ada film Indonesia paling berpengaruh dalam menumbuhkan minat pada dunia buku dan kesusastraan, maka film Ada Apa dengan Cinta? (AADC) adalah jawabannya. Film ini konon adalah yang memicu orang-orang bergairah untuk mendatangi dan berbelanja buku di Kwitang, sebuah daerah di Jakarta Pusat yang disebut dalam film AADC ini.

Ada Apa dengan Cinta? adalah sebuah film romantis Indonesia karya Rudi Soedjarwo yang dibintangi Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo. Film ini dirilis menyusul film berjudul Petualangan Sherina yang booming terlebih dahulu. Film ini meraih sukses besar di Indonesia dan bersama film Petualangan Sherina, menandai kebangkitan kembali dunia perfilman Indonesia. Ada Apa dengan Cinta? ditayangkan di berbagai negara termasuk Malaysia, Brunei, Filipina, dan Singapura.

Bertemakan cinta di masa-masa SMA, Ada Apa dengan Cinta? menampilkan Cinta (Dian Sastrowardoyo) sebagai seorang pelajar SMA. Ia adalah langganan juara lomba puisi di sekolahnya yang rutin diadakan tiap tahun. Di sekolah, juara lomba puisi pada saat itu akan diumumkan. Seluruh siswa yakin Cinta yang akan menjadi juara. Namun justru pemenangnya tahun ini adalah Rangga (Nicholas Saputra). Karena Cinta dan teman-temannya adalah pengurus mading sekolah, ia akan mewawancarai Rangga. Tetapi Rangga adalah tipe laki-laki pendiam, cuek, dan penyendiri. Saat Cinta berbicara dengan Rangga, ia melihat buku yang dipegang Rangga (buku AKU karya Sjumandjaya). Tanpa disengaja bukunya terjatuh. Cinta segera memungutnya, dan membawa pulang buku itu untuk dibaca. Tak berapa lama, Cinta mengembalikan buku tersebut saat Rangga kebingungan mencarinya. Rangga pun berterima kasih pada Cinta. Sejak itu, mereka menjadi dekat.

Namun kedekatan mereka tidak berjalan lama karena Rangga harus pergi ke luar negeri. Cinta yang menyadari bahwa Rangga adalah cinta sejatinya, segera menyusul ke bandara ketika Rangga sedang bersiap untuk pergi. Di sana Cinta bertemu dengan Rangga. Ia meminta Rangga untuk membatalkan niatnya sekolah di luar negeri. Namun Rangga tetap pergi meninggalkan Cinta-nya. Rangga berjanji akan kembali di saat bulan purnama tiba di New York.

2. Postcards from the Zoo

Postcards from the Zoo saya tonton di sebuah acara pemutaran film di Kineforum, menjelang Hari Film Nasional tahun 2012. Seperti film yang baik lainnya, Postcards from the Zoo (Kebun Binatang) adalah film yang jalan ceritanya membosankan, namun menarik untuk memicu cara pikir yang tidak biasa. Film ini disutradarai oleh Edwin, dan seperti kebanyakan film-film Edwin lainnya (ia telah membuat beberapa film pendek dan satu film panjang sebelum film Postcards from the Zoo), film ini disebut oleh kalangan film sebagai film avant-garde, dengan alur cerita yang tak linear, penuturan yang anti-mainstream, dan jalan cerita yang sulit dicerna.

Film layar lebar kedua Edwin ini telah terpilih berkompetisi di berbagai festival film internasional, di antaranya Berlinale dan Tribeca Film Festival, New York, AS, April 2012. Dan seperti film Edwin sebelumnya, film ini tidak tayang secara komersial di bioskop-bioskop regular dengan alasan agar keutuhan film terjaga dari gunting lembaga sensor. Dan untuk pendanaan mengingat film-filmnya tidak ia edarkan di bioskop komersial, Edwin selalu mencari dukungan dari beberapa lembaga internasional. Film ini berhasil diselesaikan atas dukungan sejumlah funding internasional, antara lain Torino Film Lab (Italia), Hubert Bals Fund (Belanda), Goteborg International Film Festival Fund (Swedia), dan Sundance Institute (AS).

Film ini berkisah tentang Lana kecil yang saat berusia tiga tahun ditelantarkan ayahnya di kebun binatang. Dibesarkan oleh seorang pelatih jerapah, kebun binatang adalah satu-satunya dunia yang ia ketahui. Saat seorang pesulap muncul di kebun binatang, Lana jatuh cinta, ia kemudian keluar dari kebun binatang dan membuka dirinya untuk sebuah petualangan. Di jalan-jalan Jakarta, Lana membantu pertunjukan sulap dan menjual obat, sampai diminta menghibur di Planet Spa. Namun tiba-tiba sang pesulap (Nicholas Saputra) menghilang meninggalkan Lana (Ladya Cheryl) sendiri. Ia lalu dilatih menjadi pemijat dan menjadi populer di kalangan pelanggan panti pijat itu. Namun ia merasakan ada yang hilang dari dirinya. Ia kemudian kembali ke tempat di mana ia pernah ditelantarkan dulu.

Postcards from the Zoo mengajak kita memahami perlambang-perlambang yang sutradara tampilkan di dalam adegan demi adegan. Meski kadang tak terlihat sebagai penunjang cerita, adegan-adegan yang disajikan Edwin sangat menarik untuk dicari tahu apa maksudnya. Di sana, penonton diajak untuk melihat film bukan sebagai sebuah hiburan semata, namun sebagai media untuk menyampaikan pesan.

1. Babi Buta yang Ingin Terbang

Menceritakan tentang Linda (Ladya Cheryl) dan Cahyono, dua anak muda yang berteman sejak kecil, bertemu kembali. Halim (Pong Hardjatmo), seorang dokter gigi penyendiri, tiba-tiba memutuskan untuk menikahi sang asisten yang cantik, Salma (Andhara Early), seorang yang akhirnya berhasil muncul di ajang Planet Idol, dan sebagainya. Seperti sebuah kaleidoskop, film ini berisi potongan-potongan adegan yang terkadang seperti tidak berhubungan satu sama lain, tapi ternyata adegan-adegan tersebut memberikan sebuah sisi baru kepada penonton cara Edwin, sang sutradara film ini menyampaikan cerita. Seperti adegan gadis pemakan petasan dalam film ini, penonton dibuat terperangah dengan seorang gadis keturunan Tionghoa yang memakan petasan yang kemudian meledak di mulutnya, tapi pada scene berikutnya gadis itu terlihat baik-baik saja seperti tidak terjadi apa-apa. Ternyata adegan itu adalah cara Edwin bertutur bahwa pada masa sebelum reformasi digulirkan, etnis keturunan Tionghoa begitu dibungkam haknya.

Film dibuka dengan adegan pertandingan bulu tangkis yang sengit antara pemain Indonesia melawan pemain Cina. Adegan tanpa suara. Lalu terdengar celetukan suara anak kecil, ”Yang Indonesia yang mana?” Penonton diperlihatkan bahwa kedua pemain adalah keturunan Cina, tetapi kostum yang dipakainya itu menunjukkan bahwa salah satu pemain adalah pemain Indonesia. Di sini, pembuat film seperti ingin menunjukkan bahwa warga Tionghoa juga punya andil pada negara Indonesia.

Film ini lebih banyak bercerita tentang hak-hak kaum minoritas yang begitu ditindas, terutama kaum Tionghoa di masa-masa sebelum tahun 1998. Begitu tertindasnya kaum Tionghoa pada masa itu, sampai-sampai di sebuah scene ada dialog di mana seorang anak bertanya pada kawannya, “Kamu nanti kalau sudah besar mau jadi apa?” Lalu dijawab, “Apa aja deh, asal bukan Cina.”  oleh anak keturunan Tionghoa itu. Babi Buta yang Ingin Terbang adalah keinginan seseorang untuk menuju dunia yang bebas dari penindasan dan batasan yang mengungkung, begitu kira-kira maksud yang ingin disampaikan Edwin di film yang berjudul aneh ini.

Film panjang pertama Edwin ini saya tonton berkali-kali di berbagai acara pemutaran terbatas. Pertama kali saya tonton yaitu di sebuah acara pemutaran di Komunitas Salihara, di mana pada pemutaran itu para kru dan pemainnya ikut menonton bersama dan mengajak penonton ikut bersenandung lagu, “I just called to say I love you…,” milik Stevie Wonder yang menjadi bagian dari film itu. Lagu itu menurut saya, begitu cerdas disisipkan di film yang menampilkan adegan kerusuhan 1998 yang penuh kekerasan dan darah. Lagu tersebut menciptakan kesan seolah-olah kekerasan begitu akrab dan dekat dengan kita.

Babi Buta yang Ingin Terbang menjadi film Indonesia era 2000-an ke atas paling berkesan yang pernah saya tonton. Ada banyak pesan dalam film ini yang menarik untuk dipahami karena si pembuat film tidak menyampaikannya dengan cara biasa, melainkan dengan mengajak penonton merenung dan berpikir. Para sineas percaya bahwa film yang baik adalah film yang begitu selesai diputar dan para penonton keluar dari bioskop, mereka bisa membawa sesuatu dari film itu. Film-film Edwin adalah jaminan dalam memberi sesuatu untuk direnungi dalam-dalam sehabis ditonton.

Selain sepuluh film di atas, kita tentu punya banyak film bagus lainnya. Di antaranya Get Married, Marsinah, Pasir Berbisik, Daun di Atas Bantal, Ca Bau Kan, Biola Tak Berdawai, Arisan!, Berbagi Suami, Eiffel I’m in Love, Catatan Akhir Sekolah, Mengejar Matahari, Janji Joni, Garuda di Dadaku, Rindu Kami Padamu, Nagabonar Jadi 2, The Raid, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Fiksi, Mereka Bilang Saya Monyet, Pendekar Tongkat Emas, dan lain sebagainya. Film-film Indonesia yang saya sebutkan di atas adalah film-film nasional berkualitas yang tidak mengecewakan untuk ditonton, setidaknya menurut saya. Film-film yang saya sebut tadi membuat kita menyadari bahwa ada banyak film nasional yang baik dan bagus selain film-film yang dibuat sembarang, asal-asalan, asal laku, dan tak bermutu. Ternyata, Indonesia punya banyak film bermutu yang tidak kalah dengan film-film dari luar, film-film berkualitas yang sesuai dengan mimpi Bapak Perfilman Nasional, Usmar Ismail, yaitu hasil karya seni yang bebas dan bisa mencerminkan kepribadian nasional.

Selamat untuk para pembuat film Indonesia, selamat Hari Film Nasional!

Dedo Dpassdpe
Pecinta Film Nasional
Ditulis dengan merangkum dari berbagai sumber

Quo Vadis Indonesia

pemilu

Menurut Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dalam mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara.

Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tak dapat dihindari oleh manusia, misalnya saat ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berusaha memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya. Benar memang jika politik tak mungkin bisa kita hindari, sebab seanti-antinya kita terhadap politik, tetap saja apa yang kita makan, harga baju yang kita pakai, harga rumah yang kita tempati, pendidikan yang kita dapat, ongkos kesehatan yang mesti kita bayar, biaya hidup, dan lain sebagainya tergantung oleh sebuah keputusan politik.

Jika Aristoteles bilang bahwa politik adalah sebuah upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama, Soe Hok Gie berbeda. Menurut Soe Hok Gie, politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur yang kotor. Saya rasa saya mesti menyetujui keduanya, setuju pada Aristoteles bahwa politik memang tak mungkin bisa kita hindari, dan setuju pada Soe Hok Gie bahwa politik adalah lumpur yang kotor. Kotor karena di dalam politik selalu saja ada kisah pengkhianatan, ingkar janji, korupsi, kolusi, nepotisme, intrik, kudeta, pembunuhan, penculikan, penghilangan orang, penghambur-hamburan uang, dan penghalalan berbagai cara demi mencapai posisi sosial yang tinggi, atau lebih daripada itu, untuk memperkaya diri-sendiri.

Saya tak begitu paham tentang politik. Perkenalan saya dengan politik diawali pada masa musim Pemilu 1997. Saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, usia yang masih terlalu prematur untuk memahami tetek-bengek persoalan negara. Ketika itu, yang saya ingat selain seorang guru saya di sekolah dasar menyuruh saya untuk mencari tahu apa itu arti kata krisis moneter, juga bahwa bapak saya adalah seorang pengurus Partai Persatuan Pembangunan (waktu itu masih berlambang bintang) di tingkat desa. Partai pada waktu itu hanya PPP, Golkar (Golongan Karya), dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia), dan meskipun partai dibedakan menjadi tiga macam menurut asasnya masing-masing, oleh tekanan politik Orde Baru yang sewenang-wenang, semuanya diseragamkan agar memakai lambang berbentuk segi lima sebagai lambang asas Negara Pancasila, sebagai cerminan Demokrasi Pancasila yang konon dianut oleh pemerintahan Soeharto, sebuah omong-kosong politik, kata bapak saya.

Karena bapak saya menjadi pengurus PPP (satu-satunya partai yang berhaluan Islam pada masa itu), saya pun mendukung PPP dan sedemikian anti pada Golkar yang menjadi kendaraan politik pemerintah pada masa itu. Apalagi kala itu, perlawanan-perlawanan kepada partai penguasa itu mulai bermunculan, benih-benih revolusi mulai lahir, anak-anak muda yang kritis mulai menunjukkan taringnya, mahasiswa mulai berani melawan kesemena-menaan. Megawati, salah seorang anak dari Soekarno yang selama era Orde Baru dikucilkan, mulai berani memberontak melawan pemerintah dengan menggandeng massa non Golkar dan membentuk sebuah wadah aliansi baru bernama Mega Bintang, yaitu gabungan massa PDI Pro Mega dan PPP (beberapa orang bahkan mengartikan Mega Bintang sebagai gabungan kekuatan antara Megawati dengan Sri Bintang Pamungkas, keduanya adalah musuh politik Soeharto). Kekuatan anti Golkar yang dibangun oleh para tokoh demokrasi pada massa itu mulai memunculkan sebuah ungkapan Asal Bukan Golkar (ABG) di kalangan rakyat, ketidaksukaan saya pada Golkar pun semakin menjadi-jadi.

Pernah satu kali, di saat rombongan berpuluh-puluh mobil, truk, dan sepeda motor dari kampanye Golkar melintas di depan rumah saya, dengan polosnya saya teriak, “HIDUP BINTANG!” pada mereka. Salah satu orang di atas truk, saya ingat betul kalau dia mempunyai wajah yang jelek, penuh dengan coretan di mukanya, dan memakai ikat kepala berwarna kuning, meludahi saya yang berdiri di pinggir jalan saat menyaksikan iring-iringan mobilisasi massa. Sebuah perkenalan yang buruk yang akan saya ingat sepanjang kepala saya mampu mengingat. Politik, datang dan menyapa saya yang masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu demokrasi dengan cara yang kotor.

Tahun berikutnya, saya semakin menjadi lumayan mengerti apa itu politik ketika tetangga saya pulang dari sekolahnya (SMA) dengan memakai sepeda motor yang dicoret-coreti ‘REFORMASI TOTAL’ di beberapa bagian, serta helmnya juga. Ketika saya tanyakan apa yang terjadi, dia menjawab, “Di Jakarta ada demo. Soeharto didemo! Reformasiiii!!!” jawabnya menggebu-gebu seperti seorang anak mendapatkan hadiah sepeda di hari ulang tahun. Saya yakin selain saya, dia sendiri pun tak tahu apa maksudnya reformasi. Tapi saya diam tak bertanya, dan itu berarti membuat dirinya aman karena tak perlu bersusah-susah menjelaskan, dan juga membuatnya berpikir bahwa saya paham karena saya tak menanyakan. Politik kali ini, saya kenal sebagai sesuatu yang rumit untuk dipahami.

Yang selanjutnya datang adalah kegembiraan ketika era keterbukaan politik dimulai, kran demokrasi dibuka, dan semua orang tiba-tiba mendirikan partai politik. Saya pun tak ketinggalan membaca dan mengamati partai-partai apa saja yang tertera di selebaran poster yang memuat gambar partai peserta Pemilu saat itu. Waktu itu jumlah partai ada 48. Terlalu banyak dan membingungkan mengingat selama bertahun-tahun partai di Indonesia dibatasi hanya boleh ada tiga saja dan ketiganya pun dipaksa seragam untuk memakai lambang berbentuk segi lima. Ini menggelikan, betapa reformasi membuat mereka seperti segerombolan pesepeda motor di lampu merah yang jika lampu hijau menyala, berhamburan mereka seolah baru dibebaskan dari penjara kejam di sebuah rezim yang maha zalim.

Ketertarikan saya dalam mengikuti percaturan politik dimulai pada Pemilu 1999 yang berlanjut ke pemilihan presiden oleh DPR/MPR. Kemenangan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di pemilihan presiden pada saat itu, meski pun oleh banyak pihak disebut sebagai kecelakaan sejarah, adalah kebahagiaan saya dan bapak saya (kali ini bapak saya adalah ketua tingkat desa Partai Kebangkitan Bangsa) yang dengan tekunnya menonton televisi dari siang sampai Maghrib dan turut berteriak seperti sedang menonton pertandingan sepakbola ketika petugas pemilihan presiden membuka surat suara dan membacakan dengan lantang, “YANG MULIA GUS DUR!”, “ABDURRAHMAN WAHID!”, dan sebagainya saat melakukan penghitungan suara. Maklum, saya sekeluarga tumbuh dalam lingkungan pesantren, mendapat seorang pemimpin negara yang merupakan seorang kiai adalah sebuah kegembiraan dan kemenangan besar. Apalagi sebelum Pemilu, kaum santri dan kiai diteror dengan isu ninja dan pembunuhan yang membuat gentar siapa pun dari kalangan Islam yang berani terjun ke politik praktis. Saya ingat waktu itu tengah malam saya yang masih kecil, dan kawan-kawan sedesa, dipersenjatai rotan untuk menjaga rumah dan nyawa seorang ulama di desa yang adalah uwak saya.

Sampai lalu tiba era Gus Dur dimakzulkan oleh Ketua MPR, Amien Rais, seorang yang notabene mengusungnya sebagai presiden, dan Megawati, wakilnya sendiri (Gus Dur di kemudian hari berdoa semoga cukup sampai pada dirinya saja presiden di Indonesia yang jabatannya dihentikan di tengah jalan, dan doanya terwujud setidaknya sampai sekarang), saya kemudian tak begitu tertarik untuk mengikuti Pemilihan Umum apa pun, baik pemilihan partai atau pun pemilihan calon presiden dan wakilnya. Selain memang tak pernah tertarik dengan calon-calon yang disediakan, juga karena saat itu menurut saya, tidak memilih adalah sebuah pilihan. Dan konsekuensi yang harus saya terima adalah, negara sudah pasti dipimpin oleh seorang yang tak pernah saya pilih. Tetapi meski tak tertarik dengan calon-calonnya, saya selalu mengikuti perkembangan politik, saya juga bersedia ketika dimintai menjadi seorang panitia di TPS (Tempat Pemungutan Suara), dibayar dengan makan siang dan snack.

Saya semakin apatis ketika Pemilu 2009 menyediakan calon yang hanya itu-itu saja. Tokoh-tokoh tua yang cuma ingin memajang potret dirinya di Istana Negara demi ditulis dalam buku sejarah untuk kemudian menjadi dikenang oleh anak-anak sekolah. Saya tak tertarik pada Pemilu selain karena visi-misi yang ditawarkan oleh mereka biasa-biasa saja dan tak membawa kebaruan, juga karena tokoh-tokoh jenderal dalam Capres-Cawapres pada masa itu punya masa lalu yang buruk dan pernah menjadi alat di masa Orde Baru untuk melenggangkan kekuasaannya.

Kemudian sampailah kita di musim Pilpres 2014. Saya antusias karena Pilpres kali ini begitu riuh melahirkan banyak harapan, semangat, dan kengototan yang bertebaran di sana-sini. Apalagi Pemilu kali ini hanya diikuti oleh dua pasang Capres-Cawapres, maka tensi antar kedua kubu pun benar-benar panas dan terlalu menarik untuk diabaikan begitu saja.

Pasangan Capres-Cawapres nomer urut satu adalah Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa yang diusung oleh Partai Gerindra dan berbagai partai pendukung, membawa harapan akan adanya sebuah negara yang kuat dan ditakuti oleh negara lain dengan slogannya ‘Macan Asia’. Sedangkan pasangan nomer urut dua adalah Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi dan Jusuf Kalla yang diusung oleh PDI-P dan partai pendukung lainnya, menawarkan sebuah revolusi dan kebaruan pada bangsa ini dengan ide-idenya yang cemerlang. Keduanya menawarkan visi-misi yang baik dan menjanjikan membawa negara ini menjadi maju, berwibawa, berdikari, berdaulat, adil, makmur, dan disegani oleh negara lain.

Namun pada prosesnya, caci-maki, fitnah, kekerasan, teror, dan aksi saling ejek-mengejek pun tak bisa dihindari. Politik, yang ketika kecil saya dengar istilah itu pertama kali lewat lagu Iwan Fals berjudul Sumbang yang sering diputar oleh abang saya di rumah, benar-benar begitu kejam dan menghalalkan berbagi cara hanya demi memenuhi ambisi mencapai sebuah posisi.

Pemilu yang semestinya membawa kegembiraan, sayang sekali menjadi demikian kotor oleh ulah beberapa orang yang dengan kejam melakukan fitnah menyebar kebohongan demi menjatuhkan lawan, begitu bodoh melakukan vandalisme, begitu naif menggunakan simbol-simbol yang melukai kemanusiaan, dan begitu buruk melakukan black campaign seolah-olah ingin memecah-belah bangsa.

Namun di balik semua itu, saya percaya bahwa Pemilu akan berjalan lancar jika pihak yang kalah bisa bersikap menerima seperti seorang Gus Dur yang mengatakan, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” saat massanya marah ketika beliau diturunkan dari jabatannya.

Politik, biar bagaimana pun adalah sebuah jalan. Ia bisa saja kotor dan penuh dengan comberan. Dan sebagaimana saya menganalogikan bahwa politik adalah sebuah jalan, maka hal itu bisa mengantar kita pada tujuan bernama kebaikan bersama seperti yang dicita-citakan Aristoteles, atau tak membawa kita ke mana pun (status quo) dan tetap tinggal pada kubangan kotor itu, atau menjerumuskan kita menjadi manusia yang sedemikian busuk dan menjijikan. Kita lah yang akan menentukan akan ke mana kita membawa negara ini. Pilihan ada pada kita sendiri, rakyat, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Maka marilah kita sebagai rakyat, turut mengambil bagian menentukan arah bangsa yang sedang mencari bentuk terbaiknya dalam berdemokrasi dimulai dengan menentukan siapa yang layak memimpin negara ini.

Jokowi seorang yang baik, tak punya masalah pada masa lalu, penuh ide, tegas, berorientasi kerja, dan berjibun prestasi ketika menjabat wali kota Solo ataupun gubernur Jakarta. Prabowo pun penuh gagasan besar, tegas, berwibawa, dan penuh prestasi saat masih di TNI meski kemudian ia diberhentikan karena bermasalah yang saya harap beliau mau menyelesaikannya sesegera mungkin, demi memberi keadilan pada rakyat. Keduanya saya yakin sangat mencintai negeri ini. Keduanya punya visi-misi yang baik dan punya cita-cita besar pada Ibu Pertiwi. Keduanya hanya dibedakan dari karakternya. Jokowi seorang yang tegas tapi kalem, sedangkan Prabowo adalah seorang yang tegas namun cenderung keras. Kitalah sebagai rakyat yang menentukan, yang mana menurut kita layak untuk dipilih.

Untuk pendukung Jokowi, harus saya akui bahwa Jokowi memang membawa harapan untuk perubahan Indonesia yang lebih baik, prestasi-prestasinya di Solo yang membuatnya masuk ke jajaran wali kota paling berpengaruh di dunia, atau di Jakarta yang membawanya masuk ke dalam daftar 50 pemimpin hebat dalam majalah Fortune edisi April 2014, adalah sebuah hal yang tak bisa dinafikan seberapa besar musuh politiknya memungkiri itu. Tapi janganlah harapan itu menjadikan kita terlalu menganggap bahwa Jokowi adalah seorang sempurna yang tak mungkin mengecewakan. Jokowi dan Prabowo, dan tentu kita semua, adalah tempatnya salah. Kita cari kesalahan Jokowi pastilah akan kita temukan karena dia cuma manusia biasa saja. Saya harap, jika Jokowi terpilih sebagai presiden nanti, negara ini bisa lebih maju seperti kota yang pernah beliau pimpin.

Buat para pendukung Prabowo, harapan saya bila beliau terpilih nanti adalah jika memang beliau menganggap zaman Soeharto adalah zaman yang terbaik, semoga beliau bisa membawa apa-apa yang baik di zaman Soeharto dan menunaikan janjinya menjadikan negara ini sebagai Macan Asia namun tidak dengan mengikutsertakan kesalahan dan kepemimpinan semena-mena yang begitu buruk pada zaman Soeharto tersebut. Saya tidak ingin negara ini dibawa mundur ke masa-masa fasisme ala Orba yang dengan keji menyingkirkan siapa pun yang beda secara pandangan, beda pendapat, atau beda apapun. Tak apa pro status quo dan menjadi perpanjangan dari rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, seperti slogan ‘Lanjutkan!’-nya besan dari Hatta Radjasa itu, asalkan jangan berjalan mundur ke zaman Soeharto yang oleh Prabowo coba digali lagi lewat romantisme masa lalu dengan menyebar pameo yang fenomenal, ‘Piye kabare, enak jamanku toh?’ itu, dan mencoba menawarkan wacana pada masyarakat tentang kepahlawanan Soeharto.

Harus saya akui bahwa saya kecewa pada pemerintahan SBY yang dipercaya menjabat selama dua periode namun tak banyak menciptakan keberhasilan, bila tak mau dikatakan gagal. Maka saya harap, pemerintahan yang akan datang adalah pemerintahan yang bisa lebih baik dari pemerintahan sekarang. Kita tentu tidak ingin mengalami kekecewaan seperti kekecewaan seorang Soe Hok Gie yang pada masa Orde Lama, masa mudanya dihabiskan untuk memperjuangkan demokrasi, namun setelah Orde Lama tumbang, yang kemudian lahir adalah Orde Baru yang lebih menakutkan, otoriter, beringas, dan berwajah monster.

Pada akhirnya, untuk kedua calon dan para pendukungnya, yang harus kita sadari pada setiap kompetisi kecuali mempersiapkan kemenangan adalah, siap menerima kekalahan dan legowo menanggung kegagalan. Sebab, kegagalan pun tidak selalu berarti ketidakberhasilan dalam semua hal, dan keberhasilan meraih jabatan pun tak menutup kemungkinan untuk menjadi gagal saat dipercaya untuk menjabatnya. Terkadang, memang lebih baik gagal terpilih ketimbang terpilih namun gagal, seperti apa yang diucapkan oleh Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat ke 16 yang berkali-kali gagal menjadi anggota senat saat mudanya namun di kemudian hari berhasil menjadi seorang presiden. Katanya, “Saya lebih baik gagal dalam suatu tujuan yang pada akhirnya akan berhasil, daripada berhasil dalam suatu tujuan yang akhirnya akan gagal.”

Dedo Dpassdpe
Rakyat

Fasisme, Fanatisme, dan Awamisme di Mata Awam

fasis

Pada sebuah pertandingan sepakbola di Januari 2005 antara Lazio melawan Roma, seorang penyerang Lazio membuat gempar setelah ia mencetak gol pertama dalam kemenangan 3 – 1 Lazio atas Roma. Adalah Paolo Di Canio, seorang yang sebelum menjadi pemain sepakbola profesional, merupakan seorang fans fanatik garis keras Lazio. Ia menjadi bahan pembicaraan banyak orang setelah aksi selebrasi golnya ke arah tribun Curva Nord ditengarai mirip dengan fascist salute ala pemimpin Partai Nazi dari Jerman, Adolf Hitler.

Di Canio lahir dan tumbuh di lingkungan kelas pekerja di kota Roma, Italia. Ia tumbuh sebagai bagian dari suporter ultras Lazio yang keras, fanatis, dan begitu membenci lawannya. Jauh sebelum ia melakukan salam ala fasis pada selebrasi golnya ke Roma pada tahun 2005 tersebut, ia pernah merayakan satu-satunya gol pada pertandingan di mana ia mencetak gol perdananya pada salah satu dari lima partai derby yang disebut-sebut paling panas itu dengan berlari dan mengejek para suporter Roma. Keruan saja, tingkahnya ini membuat jengkel para tifosi lawan.

Merasa tak cukup dengan itu, jauh masa setelahnya, Di Canio melakukan lagi perayaan gol kontroversial dengan mengangkat tangan dan melakukan salam ala fasis sebagai simbolisasi keunggulan dirinya atau timnya terhadap lawan. Ia pun lalu dikenai sanksi denda ratusan juta rupiah atas aksinya tersebut, meski ia menampik apa yang dilakukannya merupakan bagian dari fasisme. Selain Di Canio, Lazio juga dijatuhi hukuman serupa, yakni denda ratusan juta rupiah oleh Federasi Sepakbola Italia. Otoritas sepakbola Italia menegaskan, seorang pemain sepakbola tak semestinya memakai gerak isyarat apapun yang mengindikasikan sebuah ideologi politik karena berpotensi memancing keributan dan kekerasan dari suporter.

Namun rupanya Di Canio bukanlah satu-satunya pemain yang melakukan selebrasi kontroversial. Nicolas Anelka pun pernah melakukan perayaan gol berbau salut anti-semit, dan ulahnya tersebut mendapat reaksi keras dari komunitas Yahudi di berbagai negara. Klubnya, West Bromwich Albion, bahkan terancam diputus kerjasama kontraknya oleh sponsor. Selain Nicolas Anelka, yang terbaru adalah apa yang dilakukan oleh Josip Simunic, bek veteran Kroasia. Ia melakukan sebuah selebrasi nyeleneh ala diktator pada sebuah pertandingan yang kemudian membuatnya dihukum larangan tampil 10 pertandingan oleh FIFA, dan itu berarti ia melewatkan perhelatan Piala Dunia 2014. Tragisnya, selebrasi itu dilakukan di partai penentu melawan Islandia yang membawa negaranya melaju ke Piala Dunia.

Hukuman yang paling berat atas ulah menampilkan simbol-simbol politik ke dalam olahraga menimpa seorang Giorgios Katidis, pemain AEK Athens yang baru berusia 20 tahun. Atas kebodohannya menunjukkan salam ala fasis di lapangan, ia dijatuhi hukuman larangan bermain seumur hidup di timnasnya oleh federasi sepakbola Yunani. Meski kemudian ia menyatakan menyesal dan mengatakan tak akan melakukannya lagi, apa yang ia tampilkan terlanjur merobek nilai-nilai sportivitas dalam sepakbola dan melukai kemanusiaan pada umumnya. Kita tahu, apa yang dilakukan oleh Hitler, atau Benito Mussolini (fasis dari Italia), atau pemimpin dunia lainnya melalui ideologi fasisme telah membunuh jutaan manusia di seluruh jagat.

Lalu apa itu fasisme dan apa bahayanya? Fasisme adalah sebuah paham politik kanan yang ekstrem, sebuah gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter, sebuah paham yang didasarkan pada ikatan darah, kebudayaan, dan keturunan melalui sistem partai tunggal yang totaliter. Fasisme adalah sebuah paham politik yang cenderung sama dengan totalitarianisme, sistem totalitarian sendiri adalah bentuk pemerintahan dari suatu negara yang bukan cuma selalu berupaya menguasai segala aspek ekonomi dan politik masyarakat, tetapi juga selalu berusaha menentukan nilai-nilai moral, kepercayaan, dan paham dari masyarakat. Sebagai akibatnya, tak ada lagi batas pemisah antara hak dan kewajiban oleh negara dan oleh masyarakat.

Fasis percaya bahwa bangsa memerlukan kepemimpinan yang kuat, identitas kolektif tunggal, dan kemampuan untuk melakukan kekerasan dan berperang untuk menjaga bangsa yang kuat. Pemerintah fasis melarang keras dan menekan segala bentuk oposisi dan protes masyarakat terhadap negara, begitu tabu terhadap komunisme, pantang berdemokrasi, anti terhadap kritik, anti-liberal, anti-parlemen, anti-konservatif, anti-borjuis, anti-proletar, dan dalam banyak kasus, juga anti-kapitalis. Fasisme menolak konsep-konsep egalitarianisme, materialisme, dan rasionalisme yang mendukung tindakan, disiplin, hirarki, semangat, dan keinginan.

Lalu apa bahayanya? Fasisme menjadi mengerikan karena pada prakteknya sering menggunakan berbagai cara yang cenderung militeristik, dengan melakukan tindakan represi dan kekerasan untuk mengacaukan situasi demi mendapat kekuasaan politik. Fasis menghalalkan pembunuhan orang-orang yang berbeda secara pandangan atau berbeda dalam hal apapun, penculikan orang-orang yang dianggap mengganggu stabilitas, penghilangan orang-orang yang dituduh subversif, dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan prinsip dasar hak asasi manusia (HAM).

Saya mungkin termasuk seorang yang awam terhadap politik dan tak tahu apa saja ideologi-ideologi dalam sistem pemerintahan. Saya pun tak tahu persis kapan lahirnya paham fasisme. Menurut saya, paham tersebut ada sejak era Romawi. Fasisme lahir dari ketakutan dan kecurigaan bangsa Romawi akan adanya kekuatan yang tumbuh di luar kehendaknya. Karena merasa diri unggul, fasisme tidak mau ada ras, suku, atau bangsa lain yang melebihinya dan lebih kuat darinya. Oleh sebab kekhawatiran tersebut, Republik Romawi sebagai bangsa yang paling maju pada masa tersebut, melalui pemimpinnya yang adalah seorang diktator, Julius Caesar, melakukan serangan ke berbagai wilayah termasuk ke Britania, Gaul (Perancis), dan mengakibatkan diaspora bangsa Yahudi juga menghilangnya Tanah Israel (Eretz Yisrael) dari peta dunia, sampai kemudian Inggris sebagai pemenang Perang Dunia mengembalikannya lagi melalui Mandat Britania.

Kemudian pada masa tumbuhnya fasisme ala Mussolini dan Hitler (Hitler pada masa remaja adalah seorang pengagum Mussolini) di awal abad 20, bangsa Yahudi yang ketika itu sedang mengalami kemajuan pesat dan mulai menuntut didirikannya sebuah negara, tiba-tiba dianggap sebagai sebuah ancaman oleh diktator-diktator seperti Mussolini dan Hitler yang melalui paham fasismenya, kemudian melakukan perang, genosida, dan pembunuhan besar-besaran terhadap mereka. Peristiwa Holocaust dan Perang Dunia adalah contoh dari kekejian ideologi fasisme.

Di Indonesia sendiri, Orde Baru adalah sebuah pemerintahan yang diindikasikan menerapkan paham fasisme selama berkuasa. Soeharto yang berkuasa melalui momentum jatuhnya wibawa Soekarno di mata rakyat, dengan menggunakan senjata Supersemar-nya dan sentimen anti-komunis yang secara baik ia propagandakan, adalah seorang diktator yang menggunakan ideologi fasisme selama menjabat sebagai pemimpin negara. Ia benar-benar begitu mengekang demokrasi, kebebasan, dan menekan oposisi dengan cara-cara di luar nalar, sampai kemudian ia dijatuhkan oleh rakyat yang tidak tahan dengan kekejamannya.

Kemudian sampai lama sekali sejak setelah lengsernya Soeharto, kita, atau saya sendiri, lalu menjadi sedemikian jarang mendengar atau membaca kata-kata fasisme dalam kehidupan sehari-hari sampai kemudian datanglah gegap-gempita musim Pemilu 2014. Adalah Ahmad Dhani, seorang musisi jenius yang semasa mudanya banyak menciptakan lagu-lagu jawara dan everlasting untuk didengarkan pada zaman kapan pun —yang sayang sekali di usianya yang semakin dewasa menjadi banyak membuat lagu-lagu yang (maaf) berkualitas seadanya dengan lirik yang tak sekuat lagu-lagunya dahulu— membuat gempar bahkan sampai ke luar negeri gara-gara dalam klip lagunya yang ia bikin untuk kepentingan kampanye salah satu Capres-Cawapres, ia memakai semacam jas yang mirip dengan pakaian Heinrich Himmler, seorang komandan Schutzstaffel (SS) Jerman dan salah satu tokoh yang paling berpengaruh di Nazi. Seorang yang mengendalikan SS dan Gestapo. Seorang yang juga menjadi organisator utama Holocaust, dan bertanggung jawab atas pembasmian manusia dengan jumlah korban jutaan jiwa.

Mengingat suasana sedang panas akibat musim Pemilu, hal-hal teledor dan blunder yang sedikit saja bisa dibesar-besarkan. Apalagi jika keteledoran itu menyangkut isu kemanusiaan. Isu kemanusiaan sendiri adalah isu besar dan merupakan hal yang sangat sensitif. Kita tahu, sesuatu yang sensitif sebaiknya jangan pernah dianggap hal remeh. Jika kita tidak tahu pada hal yang mendasar semacam ini saja, maka apa bedanya kita dengan orang-orang yang menciptakan berita hoax tentang kematian salah satu mantan presiden kita, apa bedanya kita dengan orang-orang yang menyebar foto korban sebuah kecelakaan tanpa memikirkan perasaan korban yang ditinggalkannya, apa bedanya kita dengan orang-orang yang mengaku cacat demi mendapat sumbangan uang, apa bedanya kita dengan orang-orang yang menjadikan bencana sebagai bahan candaan, apa bedanya kita dengan seorang yang tidak peka pada prioritas seorang ibu hamil di ruang publik, dan apa bedanya kita dengan seorang yang menyebut korban kecelakaan dan terbakarnya kereta api di Bintaro kemarin dengan sebutan kuliner manusia bakar?

Sayangnya Dhani bergeming ketika banyak pihak menegur, mengkritik, dan bahkan mencelanya. Ia bahkan dengan lantang mengatai para pengkritiknya sebagai seorang yang awam yang tak tahu apa-apa dalam akun Twitternya. Meski ia enggan dibilang sebagai seorang fasis, apa yang ia lakukan dalam penolakannya disebut fasis dengan cara memandang rendah orang lain adalah cerminan sikap Nazi yang menganggap ras lain adalah sampah yang harus dimusnahkan. Ia menolak dituduh sebagai seorang fasis dengan cara yang fasis, yakni dengan menganggap diri unggul dan menganggap orang lain sebagai awam.

Ahmad Dhani memang saya kenal sebagai seniman nyentrik nan arogan. Namun agaknya kali ini ia telah bertindak berlebihan. Saya kecewa ketika saya pertama kali baca tweets di akun sosial medianya yang tulisannya berantakan, entah kesalahan penulisan atau apa, ia menulis Jokowi dengan sebutan Jokuwi. Sebagai seorang berpengaruh yang semestinya memberikan pendidikan politik yang baik, hal-hal semacam itu sangat saya sayangkan. Dhani tak ubahnya seperti seorang fanatis dalam sepakbola yang menyebut Liverpool dengan sebutan Liverfool atau Loserpool saking bencinya, menyebut Chelsea dengan Chelshit, Manchester United dibilang Mencreter Unipret, Arsenal dengan Arsendal, Barcelona dengan Bancilona, Real Madrid dengan Real Mahodrid, dan lain sebagainya. Saya terus terang sangat membenci hal-hal kefanatikan semacam ini. Sebab fanatisme seperti ini menurut saya, mempunyai hubungan linier dengan fasisme dan tidak dapat dipisahkan dengan aroganisme, dan ini harus kita tentang.

Mungkin dari kita pernah terbesit sebuah pemikiran bahwa menentang fasisme juga terkadang terjebak menjadi fasisme pula, atau membenci fanatisme adalah fanatisme dan kebencian dalam bentuk lain. Ini pemikiran yang tidak benar. Memerangi peperangan mungkin bisa dengan peperangan, namun tidak semua peperangan itu buruk secara moral. Kita tidak boleh menjadi awam seperti yang dikatakan Dhani dengan menyetujui bahwa menentang fasisme adalah fasisme dalam bentuk lain. Kita tidak boleh menjadi awam seperti Dhani yang malah balik mengatai awam kepada para penegur yang mengkritiknya tentang simbolisasi yang ia bawa dalam klipnya. Alih-alih berterima kasih karena diingatkan, Dhani malah menunjukkan sikap yang sangat disayangkan.

Dhani mungkin lupa atau tak tahu bahwa orang sakit jiwa yang pernah saya jumpai di RSJ Grogol (saya kebetulan tinggal di sekitar sana), menganggap para pengunjung dan dokternya sendiri adalah orang gila lalu menganggap dirinya sebagai pihak yang waras. Dan seperti halnya orang gila yang tak pernah sadar dirinya gila, orang bodoh pun tak mengerti kalau dirinya bodoh, orang pintar yang sejati pun tak akan menggembar-gemborkan bahwa dirinya pintar, seorang wali pun tak akan mengaku dirinya adalah wali, dan awam pun tak akan sadar bahwa dirinya adalah awam.

Ahmad Dhani yang di luar arogansinya sebagai manusia adalah seorang yang saya kagumi dari musikalitasnya, telah menampar kita dan menyadarkan kita semua bahwa ada hal-hal yang kurang pantas jika dibawa ke ranah publik karena menyangkut isu sosial atau kemanusiaan atau apapun. Namun sebagai manusia yang seringkali salah, keterlanjuran berbuat yang tidak sesuai bisa kita sadari dan sesali dengan sendirinya untuk kemudian mengajukan permintaan maaf. Jika kemampuan menyadari kesalahan sendiri (introspeksi) tak kita punyai, adalah teguran dan kritik dari orang lain yang membuat manusia menjadi manusia lebih baik. Dan jika ditegur saja tidak bisa, maka kita perlu berkaca siapa di antara kita yang awam? Atau jika dikritik saja malah menentang, maka barangkali kita telah menjadi fasis tanpa tahu apa itu fasis sebagaimana orang awam yang tak sadar bahwa dirinya adalah awam.

Dedo Dpassdpe
Awam Politik

Sebuah Catatan

catatan

Soe Hok Gie bilang, “Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah yang berumur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

Rasa-rasanya, bagi seorang filsuf Yunani itu dan seorang pemikir seperti Gie, hidup memang tak terlalu menarik. Hambar, penuh kepalsuan, dan cenderung membosankan. Gie mengatakan bahwa dia seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. “Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.” Begitu ia memimpikan sebuah hidup yang ideal.

Saya dan Anda tentu pernah dilanda kebosanan hidup maha dahsyat yang membuat kita ingin lekas-lekas menyudahi hidup di dunia ini. Tak apa, hal seperti itu wajar. Jangankan kita yang hidup biasa-biasa saja, bahkan seorang Kurt Cobain yang hidupnya begitu mentereng, bergelimang cinta, begitu dielu-elukan penggemar, dan dipuja-puji bak dewa pun mengalami kesunyian tak terpermanai yang bikin hidupnya tak ubahnya sebuah perjalanan menunda kekalahan semata, begitu kira-kira kata Chairil Anwar. Biar bagaimana pun Anda menunda-nunda mati, maut selalu mengintai. Kapan pun, di mana pun, dengan cara apa pun.

Maka ketimbang mati di usia tua, di mana semakin menua hidup akan lebih menyedihkan karena semakin sering kita menjadi saksi kematian-kematian orang tercinta, Kurt melalui surat kematiannya yang mengutip lirik lagu Neil Young berjudul My My, Hey Hey (Out of the Blue) mengatakan, ‘Lebih baik terbakar habis daripada memudar,’ ia pun memilih mati muda, sebagaimana Chairil yang oleh kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw, disebut-sebut menyadari dirinya akan mati muda, yang memilih mati muda dengan berlindung di balik frasenya yang sangat terkenal, ‘Sekali berarti sudah itu mati.’

Gie, Kurt, atau Chairil, punya kesamaan yang tegas. Sama-sama mati di usia muda. Sekitar 27 tahun. Selain mereka, kita tentu mengenal orang-orang hebat yang mati di usia tersebut. Ada Jimi Hendrix, gitaris yang disebut-sebut sebagai gitaris terbaik dalam sejarah musik dunia yang kematiannya menyisakan misteri, entah dibunuh, entah overdosis oleh sebab mengonsumsi obat-obatan terlarang untuk menghilangkan rasa depresinya. Lalu ada Brian Jones, salah satu pendiri grup band legendaris Rolling Stones yang dikenal dengan permainan gitar dan harmonikanya yang brilian, ditemukan tewas di kolam renang di kediamannya sebulan setelah ia dikeluarkan dari Rolling Stones. Penyebab kematiannya diyakini akibat penyalahgunaan obat terlarang secara berlebihan. Hati dan liver Jones membengkak akibat obat-obatan dan alkohol. Lalu ada Janis Joplin, si Ratu Rock and Roll yang mengakhiri hidupnya dengan mengonsumsi heroin berlebihan. Kemudian Jim Morrison, pendiri dan vokalis utama The Doors yang dikenal dengan improvisasinya dan puisi-puisinya yang kerap dibacakan di atas panggung, meninggal misterius dan saking misteriusnya sampai-sampai tim yang dipanggil untuk menyelidiki kematian Jim, melalui sertifikat kematian yang dikeluarkannya cuma menyimpulkan bahwa Jim mati lantaran jantungnya berhenti berdenyut. Sebuah kesimpulan yang tidak membantu apa pun. Toh semua orang mati pastilah jantungnya berhenti bekerja.

Chairil dan Gie adalah dua orang berpengaruh di Indonesia yang sama-sama meninggal menjelang usia ke 27. Tak ubahnya dengan Chairil yang melalui puisi-puisi kematiannya seperti puisi Jang Terampas Dan Jang Putus yang diidentifikasi sebagai sebuah keinginan mati muda, Gie yang meninggal dunia akibat menghirup gas beracun di gunung Semeru, sehari sebelum ulang tahunnya ke 27, pun sebenarnya menyadari bahwa dirinya akan mati muda. Tertuang jelas dalam catatannya ia mengatakan, “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya,” atau kebingungannya dalam melihat kehidupan yang ia tulis, “Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan … Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.” atau saat ia mengakhiri salah satu puisinya dengan kalimat, “Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu.” Keduanya, Chairil dan Gie, memandang hidup sebagai sebuah batu loncatan yang tak perlu lama-lama dipijak, sebab sejatinya hidup di dunia ini fana belaka.

Kurt yang datang dari sebuah keluarga yang hampir sama seperti Chairil, yaitu dari keluarga yang orang tuanya bercerai, adalah yang paling naas. Ironis, ia mati di tengah-tengah karirnya yang sedang memuncak. Tak jua karir, tak pula anak dan istri, tak jua teman-teman, semuanya tak dapat menghindarkannya dari hasratnya yang memuncak untuk mengakhiri hidup. Kurt, yang oleh saudara perempuannya terungkap bahwa ketika masih anak-anak, pernah menyatakan ingin bergabung ke dalam Club 27, tewas tidak cuma oleh obat-obatan terlarang, tapi juga oleh sebuah senapan berburu berbobot berat yang melubangi langit-langit mulutnya. Ia mati kesepian di dalam ramai yang tak pernah ia bisa nikmati. Kematiannya pun ditangisi oleh berjuta-juta manusia yang menganggap Kurt sebagai pahlawan remaja pada saat itu, yang memujanya sebagai sebuah simbol pemberontakan, lambang anti-kemapanan.

Kecenderungan akan kematian Kurt juga terungkap pada sebuah percakapan dengan seorang temannya John Fields, di mana Kurt mengatakan bahwa ia ingin menjadi musisi terkenal dan kemudian mati bunuh diri di tengah kesohorannya. Dan benar, sebelum benar-benar tiba hari kematiannya, Kurt mengalami overdosis parah, dan ini merupakan usaha bunuh diri Kurt yang gagal. Dalam secarik kertas di genggamannya, Kurt menulis, “Dr. Baker bilang, aku harus memilih antara kehidupan atau kematian. Seperti Hamlet, aku memilih kematian.” Kabar kematian Kurt pun menyebar di kalangan media dan penggemar di seluruh dunia. CNN bahkan sempat memberitakan bahwa Kurt Cobain sudah tewas. Meski demikian, Kurt masih menuruti saran orang- orang terdekatnya untuk mengikuti program rehabilitasi.

Hamlet sendiri adalah sandiwara tragedi karya William Shakespeare. Seperti karya-karya tragedi lainnya milik Shakespeare macam Romeo dan Juliet, atau Troilus dan Cressida, cerita menyuguhkan kematian tragis sang tokoh utama.

Sebulan setelah peristiwa itu, hasrat untuk mengakhiri hidup tak terbendung lagi. Kurt ditemukan tewas oleh seorang tukang listrik yang menemukan tubuhnya di rumahnya di Lake Washington ketika si tukang listrik itu datang untuk melakukan pemasangan security system. Tukang listrik itu mengira Kurt sedang tidur sampai ia melihat sebuah senjata api berjenis Remington yang mengarah ke dagunya. Sebuah surat kematian berada bersamanya. Di sana, Kurt menulis;

“Karena ditulis oleh seorang tolol kelas berat yang jelas-jelas lebih pantas menjadi seorang pengeluh yang lemah dan kekanak-kanakan, surat ini seharusnya mudah dipahami. Semua peringatan dari pelajaran-pelajaran punk-rock selama bertahun-tahun. Setelah perkenalan pertamaku dengan, mungkin bisa dibilang, nilai-nilai yang terikat dengan kebebasan dan keberadaan komunitas kita ternyata terbukti sangat tepat.

Sudah terlalu lama aku tidak lagi merasakan kesenangan dalam mendengarkan dan juga menciptakan lagu sama halnya seperti ketika aku membaca dan menulis. Tak bisa dilukiskan lagi betapa merasa bersalahnya aku atas hal-hal tersebut. Contohnya, sewaktu kita bersiap berada di belakang panggung dan lampu-lampu mulai dipadamkan dan penonton mulai berteriak histeris, hal itu tidak mempengaruhiku, layaknya Freddie Mercury, yang tampaknya menyukai, menikmati cinta dan pemujaan penonton. Sesuatu yang membuatku benar-benar kagum dan iri.

Masalahnya, aku tak bisa membohongi kalian, semuanya saja. Itu tak adil bagiku atau pun kalian. Kejahatan terbesar yang pernah kulakukan adalah menipu kalian dengan memalsukan kenyataan dan berpura-pura bahwa aku 100 persen menikmati saat-saat di atas panggung. Kadang aku merasa bahwa aku harus dipaksa untuk naik ke panggung. Dan aku sudah mencoba sekuat tenaga untuk menghargai paksaan itu, sungguh, Tuhan percayalah kalau aku sungguh-sungguh melakukan itu, tapi ternyata itu tidak cukup. Aku menerima kenyataan bahwa aku dan kami telah mempengaruhi dan menghibur banyak orang. Tapi, aku hanya seorang narsis yang hanya menghargai sesuatu jika sesuatu itu sudah tidak ada lagi.

Aku terlalu peka. Aku butuh sedikit rasa untuk bisa merasakan kembali kesenangan yang aku miliki saat kecil. Dalam tiga tur terakhir kami, aku mempunyai penghargaan yang lebih baik terhadap orang-orang. Saking cintanya, itu membuatku merasa sangat sedih. Aku adalah Jesus man, seorang Pisces yang lemah, peka, tidak tahu terima kasih, dan menyedihkan. Kenapa kamu tak menikmatinya saja? Entahlah.

Aku punya istri yang bagaikan dewi yang berkeringat ambisi dan empati dan seorang putri yang mengingatkanku akan diriku sendiri di masa lalu. Penuh cinta dan selalu gembira, mencium siapa saja yang dia temui karena menurutnya semua orang baik dan tidak akan menyakitinya. Itu membuatku ketakutan sampai-sampai aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tidak bisa membayangkan Frances tumbuh menjadi rocker busuk yang suka menghancurkan diri sendiri dan menyedihkan seperti aku sekarang. Aku bisa menerimanya dengan baik, sangat baik, dan aku bersyukur, tapi aku telah mulai membenci semua orang sejak aku berumur tujuh tahun. Hanya karena mereka terlihat begitu mudah bergaul, dan berempati.

Empati! Aku pikir itu disebabkan karena cinta dan perasaanku yang terlalu besar pada orang-orang. Dari dasar perut mualku yang serasa terbakar, aku ucapkan terima kasih atas surat dan perhatian kalian selama ini. Aku hanyalah seorang anak yang angin-anginan dan plin-plan! Sudah tidak ada semangat yang tersisa dalam diriku. Jadi ingatlah, lebih baik terbakar habis, daripada memudar.”

Kali ini Kurt Cobain benar-benar berhasil mewujudkan keinginannya. Tak ada yang bisa menyelamatkan nyawanya kali ini (dalam kasus orang bunuh diri, menyelamatkan nyawa orang tersebut saya kira tidak bisa disebut menyelamatkan, barangkali itu tindakan menjerumuskan dan memaksanya untuk tetap hidup). Ia tewas dan ditemukan beberapa hari setelah kematiannya. Dunia berkabung. Di Indonesia, kata teman saya, pada waktu itu sebuah koran menulis, ‘Kurt Cobain Bunuh Diri’, teman saya menerjemahkannya sebagai Kurt mencoba bunuh diri (lagi), maka ia tak percaya sampai benar-benar membaca isi berita itu. Ia pun berduka.

Saya dan Anda yang tidak terlalu tertarik hidup sampai menua, kalau tak mau dikatakan bosan dengan hidup, bolehlah mengambil sedikit pelajaran dari kisah hidup dan kematian dari Chairil, Gie, Kurt, dan lain-lain (saya tidak tahu kenapa kematian justru menginspirasi saya menulis ini). Hidup panjang memang terlihat membosankan, tapi ketahuilah, satu-satunya melawan kebosanan adalah dengan menjalaninya. Begitu pepatah Tiongkok mengatakan.

Anda yang sudah melewati usia 27, yang saya sebut usia keemasan, di mana kontemplasi, frustasi, depresi, perenungan, dan karut-marut pikiran berlomba-lomba membunuh si empunya usia, adalah orang yang berhasil melewati fase itu. Ada dua orang yang berhasil melewati usia keemasan itu. Yang pertama adalah yang menjalani hidup tertatih-tatih sampai berhasil mencapai dan melewati tahap itu. Yang kedua adalah yang tak pernah memikirkan hal ini. Keduanya sama saja berhasil mencapainya. Dan Anda yang belum melewatinya, teruslah berjalan, tidak perlu terlalu memikirkan tulisan saya ini. Tidak usah mencari-cari kesempurnaan yang akhirnya membawa kita pada keadaan sebaliknya, kecacatan. Tidak perlu mengikuti Kurt Cobain yang bilang lebih baik terbakar habis daripada memudar. Jalani hidup saja dengan menerima dan berserah. Jika Anda bisa tumbuh menua seraya membawa manfaat seperti Muhammad SAW, seperti Siddharta Gautama, seperti Newton, seperti Einstein, seperti Gus Dur, seperti Pram, seperti Mandela, seperti Gandhi, dan lain sebagainya, maka hidup seribu tahun lagi seperti apa yang Chairil Anwar bilang, siapa takut?

Selamat menjalani hidup. Happy Dpassdpe Day and cheers!

Dedo Dpassdpe
Pernah Berusia 27

Kilas Balik

kaleidoskop

Tahun lama lekas berakhir, tahun baru segera datang. Semua orang sibuk. Yang sudah berkeluarga sibuk membuat agenda liburan akhir tahun keluarganya, yang masih jomblo sibuk mencari pasangan untuk menikmati Malam Tahun Baru, yang tinggal di kota besar sibuk hunting tempat melipir sejenak dari kesemrawutan kota, media sibuk memberitakan tentang kilas balik kejadian sepanjang tahun, televisi sibuk menyiapkan hiburan musik atau dangdutan, para penyanyi sibuk menghafal lirik, pengrajin terompet sibuk memproduksi terompet, karyawan pabrik mercon sibuk membuat kembang api, karyawan kantor sibuk tutup buku dan membuat laporan akhir tahun, peramal sibuk membual, penyelenggara award sibuk menyortir nominasi dan nama-nama calon pemenang, polisi dan TNI sibuk diomeli istrinya karena Malam Tahun Barunya mereka kejatahan jadwal piket, si pesimis sibuk mengeluh tahun lama, si optimis sibuk merancang resolusi tahun baru. Semua sibuk.

Saya pun sibuk. Tapi ketimbang sibuk membuat resolusi yang saban tahun jarang saya capai karena saking tak realistisnya resolusi itu, saya lebih sibuk mereview apa saja yang sudah saya lewati dan saya alami selama setahun belakangan saya hidup. Bisa dikatakan, saya sibuk menengok ke belakang. Bukan melihat ke belakang seperti seorang yang gemar mengingat masa lalu, tapi lebih ke introspeksi, menilik apa saja yang telah menimpa diri saya. Setahun sudah mata saya dipakai untuk melihat ke depan, alangkah baiknya jika akhir tahun mata ini digunakan untuk melihat sejenak ke belakang.

Menengok ke belakang dalam pengertian introspeksi tentu bukanlah perkara yang gampang. Banyak hal terjadi, sementara saya tak tahu persis mana-mana yang harus diubah, mana yang harus dipertahankan, dan mana yang mesti ditinggalkan. Dan di antara banyak hal yang terjadi itu, ada yang harus diperlihatkan ke orang-orang, ada juga yang cukup diendapkan saja untuk saya nilai sendiri di ujung waktu, di penghujung tahun, dan lalu dijadikan sebagai pelajaran di tahun-tahun yang akan datang.

Begitu banyak kejadian yang menimpa diri saya, pasti cuma sedikit saja yang bisa saya pungut untuk dijadikan sebagai pelajaran. Pepatah bilang, guru terbaik adalah pengalaman. Maksud pepatah itu bukanlah cuma pengalaman yang saya alami sendiri, tapi juga pengalaman orang lain. Saya dan Anda tak perlu mengalami sebuah pengalaman pahit untuk tahu peristiwa tersebut memang menyakitkan. Kita tak perlu menjadi Abdul Qodir Jaelani untuk tahu bahwa jika belum cukup umur, sebaiknya jangan membawa mobil sendiri. Kita tak perlu menjadi Farhat Abbas agar paham bahwa orang yang terlalu mencampuri urusan orang lain itu menjengkelkan. Kita tak usah menjadi Subur atau Vicky Prasetyo hanya agar dikenal penonton gosip televisi. Kita tak usah njengking-njengking seperti Miley Cyrus untuk sekadar mencuri perhatian orang, berfoto-foto selfie seperti Barack Obama, marah-marah seperti Arya Wiguna, pamer kekayaan seperti Nassar dan istrinya, menyiramkan air ke muka orang seperti yang dilakukan Munarman, dan lain sebagainya. Kita tak perlu semua itu. Yang kita perlukan adalah belajar dari pengalaman orang lain sebab sesungguhnya hidup ini begitu singkat untuk kita harus mengalami semua hal itu sendiri.

Semasa kecil, orang tua saya atau orang tua kita pada umumnya tentu sering bercerita perihal pengalaman hidupnya. Yang mereka lakukan adalah sedang memberi tahu bahwa ada sebagian pengalaman hidupnya yang anaknya perlu belajar sebagaimana para orang tua mereka mengisahkannya pada mereka, karena mereka tahu, umur anaknya tidak cukup untuk mengalami sendiri semua hal. Beranjak besar, saya sering dicurhati oleh teman tentang apa saja, memerhatikan tingkah-laku orang-orang di jalan, melihat keributan di pasar, melihat keramaian di pasar malam, melihat keriuhan di mal, mendengar cerita demi cerita, membaca berita, dibisiki kisah-kisah, diemail seseorang yang berkisah tentang apa yang dialami dalam hidupnya, dan lain sebagainya. Saya belajar banyak dari semua itu. Saya belajar agar dalam hidup yang sangat singkat ini, jika saya tak cukup umur untuk berbuat banyak kebaikan, paling tidak saya tak menunaikan banyak kesalahan.

Dedo Dpassdpe
Manusia

BAHASA

bahasa

Saya tak dapat meragukan bahwa bahasa berasal dari imitasi dan modifikasi, dibantu oleh isyarat dan gerakan, terhadap berbagai suara alam, suara binatang lainnya, dan teriakan naluriah manusia sendiri. – Charles Darwin

Di tulisan saya yang lalu, saya menulis sebuah tulisan tentang nekrofilia. Seorang pembaca protes karena ‘nekrofilia’ yang saya maksudkan bukan pada artian seperti terdapat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang bermakna kelainan tertarik secara seksual terhadap mayat. Karena saya ingin membahas tentang kehidupan dari sudut pandang orang yang lebih tertarik pada kematian, maka saya menggunakan kata ‘nekrofilia’ tersebut sebagai istilahnya. Lagipula saya tidak menemukan kata yang tepat selain kata itu. Nekrologi, nekrolog, nekromansi, dan lain sebagainya pun tidak tepat sama sekali jika saya gunakan. Saya pun menggeneralisasikan kata ‘nekrofilia’ menjadi lebih luas maknanya agar tak cuma berhenti di pengertian seperti tertera di KBBI. Saya tentu terkesan sembarangan menggunakan istilah tersebut, tapi jauh sebelumnya, bertahun yang lalu, saya pernah membaca sebuah ulasan di koran besar nasional yang membahas tentang nekrofilia. ‘Nekrofilia’ yang dimaksud kurang lebih sama dengan pengertian yang saya ciptakan, yaitu yang sudah mengalami generalisasi. Di koran itu, penulis menyandingkannya dengan kata ‘biofilia’ sebagai lawan katanya. ‘Biofilia’ sendiri tidak ada di kamus setahu saya. Tapi saya dapat mengerti maksudnya. Maka mari kita sepakati bahwa sebuah kata atau perkataan tentu penting jika kita menggunakannya dengan baku, benar, dan tepat. Tapi yang terpenting adalah maksudnya dapat kita tangkap.

Pada sekitaran tahun 2007, saat saya masih berkantor di sebuah laboratorium optik, saya pernah punya teman kerja limpahan dari laboratorium Korea Selatan. Namanya sebut saja Bambang. Perkenalan kami dengannya tidak membutuhkan waktu yang lama. Hanya butuh beberapa hari saja kami sudah tahu dari mana dia berasal, apa pekerjaannya di Korea Selatan, bagaimana bisa dia sampai ke negara ginseng itu, berapa gajinya, dengan bahasa apa dia bicara dengan rekan-rekannya di kantornya dulu, dan lain sebagainya.

Bambang ini berasal dari daerah Jawa. Semarang tepatnya. Usianya delapan tahun lebih tua dari umur saya. Dia bekerja di Korea Selatan selama tiga tahun lebih dan pulang-pulang bawa uang segepok, dia sendiri yang bercerita seperti itu, saya tak lihat uangnya tapi saya percaya saja. Sebelumnya, dia menganggur saat masih menunggu panggilan kerja dari pihak terkait. Masa menganggurnya itu, katanya, adalah masa menghabiskan uang dari hasil bekerja sebelumnya di Taiwan selama setahun. Ya, sebelum bekerja di Korea Selatan, dia pernah bekerja di Taiwan. Dia berkisah, pekerjaannya di Taiwan itu lebih sulit ketimbang pekerjaannya di Korea Selatan. Pasalnya dia waktu itu baru lulus SMA, belum berpengalaman, dan hanya bermodalkan nekat seperti orang-orang di kampung halamannya yang merantau entah ke mana untuk mengubah nasib dirinya dan keluarganya. Bapaknya adalah seorang petani biasa. Tak kaya-kaya amat bahkan untuk ukuran di kampung. Tekad untuk mengubah nasib itulah yang membawanya sampai ke negeri seberang dengan modal ongkos hasil dari jual sawah bapaknya yang tak kaya-kaya amat itu. Dia berjanji pada bapaknya, kelak nanti, nasib keluarga akan berubah.

Singkat cerita, berangkatlah dia ke Taiwan dengan nekatnya, tanpa teman di sana, tanpa tahu bahasanya, dan tanpa tahu kultur di negeri itu. Di sana dia bekerja di sebuah bengkel mobil milik orang lokal di daerah situ. Dia tak bisa bahasa Taiwan, sementara majikannya tak bisa bahasa Indonesia. Keduanya pun tak bisa bahasa Inggris. Maka yang terjadi selama masa-masa awal dia bekerja di sana adalah dialog dengan bahasa monyet, bahasa yang ketika mereka berdua gunakan, tak ada satu pun orang di situ yang mengerti apa maksudnya. Kata Bambang, jika majikannya menyuruhnya mengambilkan tang, obeng, atau alat apa, majikannya akan bicara dengan isyarat tubuh dan intonasi setengah teriak (mungkin emosi atau kesal) dengan bahasa yang bukan bahasa Taiwan, dan tidak pula bahasa Indonesia, dia pun akan membalasnya dengan bahasa yang sama. “Hah huh hah huh!” kata majikannya sambil tangan atau mimik mukanya menerangkan sesuatu, seperti ditirukan Bambang. Mereka berdua tidak mengerti bahasa itu, tapi keduanya sekuat tenaga untuk memahami maksudnya. Tak jarang dia salah mengerti maksud majikannya. Ketika dia salah mengambil alat, majikannya akan menolak dengan bahasa yang mereka ciptakan itu, dia pun akhirnya memahami bahwa dia salah mengambil lalu akan mengerti mana alat yang harus diambil. Begitu seterusnya.

Bambang bilang bahwa majikannya adalah orang yang disiplin dan teratur, jika meminta kunci pas maka harus kunci pas, tidak boleh kunci Inggris meskipun kunci Inggris bisa digunakan. Pernah suatu kali dia melihat majikannya kesusahan memasang paku di tembok hanya karena tidak menemukan palu. Dia pun mendatanginya dan membantu memasang paku itu di tembok dengan memakukannya memakai tang. Saat itu, dia cuma menemukan tang, palu entah sedang dipakai siapa. Majikannya heran dia melakukan itu, dia pun heran dengan kedisiplinan dan kebakuan majikannya. Mereka saling heran. Karena Bambang hanyalah karyawan, maka dialah yang kena marah oleh sebab telah membuat majikannya heran. Tapi karena tidak tahu apa yang diucapkan majikannya itu saat memarahinya, Bambang pun hanya menunduk. Bertahun-tahun kemudian, dia menceritakan kisah itu pada saya sambil terbahak-bahak. Tak berani tertawa di negeri orang, dia simpan rapi-rapi kisah itu untuk ditertawainya di negeri sendiri.

Beruntung majikannya baik, meski ketika menyuruh sesuatu nadanya setengah teriak seperti orang lagi senewen, majikannya tetap mempekerjakannya. Kadang-kadang di tengah percakapan mereka, sedikit demi sedikit majikannya menyisipkan kosakata bahasa Taiwan dengan telatennya seperti seorang ibu yang mengajak bayinya bicara. Hasilnya, tiga bulan pertama, sudah ada orang lain yang mengerti ketika melihat mereka berdua berbicara. Enam bulan, mereka pun meninggalkan bahasa monyet yang mereka ciptakan. Sembilan bulan, mereka berdua sudah lupa bahwa mereka pernah ribut gara-gara salah mengambil alat. Mereka seperti membuktikan bahwa Teori Evolusi Darwin juga berlaku di bahasa. Setahun bekerja di situ, dia pulang kampung dan lalu berkisah pada tetangga-tetangganya bahwa tidak penting bisa bicara bahasa negeri asing untuk bisa bekerja di negeri itu, yang penting maksudnya dimengerti. Mendengar ceritanya, orang-orang sekampung pun seketika langsung tergiur untuk mencari uang ke negeri asing tanpa pernah berpikir bahwa tak semua majikan di sana sebaik dan setelaten majikan teman saya itu. Lalu yang terjadi berikutnya, saya semakin sering mendengar berita TKI atau TKW tewas di negeri orang lantaran cekcok dengan majikannya.

Bambang tentu tak salah. Dia beruntung. Dan keberuntungan tidak bisa disalahkan. Kenekatannya telah membawa dia pergi ke negeri seberang, belajar bahasa serta kulturnya, menikmati kuliner asal sana, dan pulang-pulang bawa uang. Kesederhanaan, kemauannya belajar, kenekatannya, dan kemampuannya memahami maksud itulah yang membedakannya dengan Vicky Prasetyo. Seorang yang baru-baru ini begitu populer di koran, televisi, dan sosial media. Saya tak tahu persis siapa dia, tapi keramaian di Twitter dan juga karena beberapa teman mengupload video cara bicaranya, membuat saya tergelitik untuk sedikit mencari tahu siapa dia. Yang saya tahu, Vicky adalah pengguna bahasa yang amburadul. Tata bicaranya berantakan seperti seorang politikus karbitan yang gemar memamerkan intelektualitas di depan rakyat yang berpendidikan rendah. Gaya bicaranya mengingatkan saya pada bahasa monyet yang diciptakan Bambang dan majikannya yang ketika dibicarakan, tak seorang pun mengerti. Tapi setidaknya, Bambang dan majikannya mengerti maksudnya. Vicky Prasetyo lebih parah mengingat dia datang tidak dari kalangan bawah dan semestinya cara bicaranya lebih tertata dan mudah dipahami. Saya yakin, ketika Vicky bicara, ia sendiri pun tak mengerti apa maksudnya. Entahlah.

Tapi omong-omong soal mengerti sebuah maksud, selain kata ‘nekrofilia’ tadi yang oleh saya digeneralisasikan maknanya, kita banyak sekali menemui kata-kata yang mengalami pergeseran makna. Di Twitter, kita sering menjumpai kata ‘nyinyir’ yang makna sebenarnya adalah cerewet, cerewet seperti seorang tua yang suka bicara berkali-kali. Tapi di Twitter kata tersebut mengalami peyorasi dan berubah maknanya menjadi menyindir. Ketika ada seorang bilang, “Tweet kamu nyinyir,” maka maksudnya adalah perkataannya di Twitter menyindir atau menyinggung. Kita mengerti maksudnya walaupun secara makna baku, penggunannya itu keliru. Kata ‘ceramah’ yang dulu berarti cerewet, sekarang mengalami perubahan makna menjadi pidato, belakangan makna awal kata itu kembali lagi. Saat seseorang mengatakan, “Kamu nggak usah ceramah deh,” maka maksudnya adalah meminta lawan bicara agar tidak perlu cerewet. Kata ‘ibu’ dan ‘bapak’ yang pada awalnya berarti emak dan ayah sekarang mengalami perluasan makna menjadi sebutan atau panggilan pada orang yang telah dewasa. Dan banyak lagi contoh lainnya.

Kita tentu tak ingin terjebak menjadi manusia yang kaku pada sebuah aturan baku. Kata orang, aturan dibuat untuk dilanggar. Saya dan Anda tidak perlu melanggar aturan-aturan yang sudah ada. Hanya saja, melonggarkan sedikit cara pandang kita terhadap sesuatu menurut saya lebih baik daripada terlalu ketat. Kawan, saya ingin mengatakan bahwa longgar itu berbeda dengan langgar. Kita tak perlu menjadi Vicky Prasetyo yang membuat berantakan suatu tatanan yang sudah teratur. Tak perlu pula menjadi penonton yang kebingungan karena tatanan yang sudah ada dibuat berantakan hingga kita tak mengerti maksudnya. Juga tak perlu menjadi Bambang dan majikannya yang membuat hal baru untuk mencapai maksud. Bahasa hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Yang terpenting adalah maksud tersampaikan. Ketika sebuah tang bisa dipakai untuk memaku, kita tak perlu susah payah mencari palu yang entah di mana ditaruhnya. Tang dan palu hanyalah alat. Toh paku bisa tertancap. Toh kita tak merusak tembok dan juga tidak merusak tang itu seperti perusakan yang dilakukan Vicky Prasetyo pada bahasa.

Jika mengandaikan bahasa adalah sebuah proses dan maksud sebagai hasil, saya ingin bilang bahwa proses itu penting, tapi yang paling penting adalah hasil. Jalan mana pun selagi bisa mencapai ke Roma, maka tidak penting lagi jalan mana dan apa nama jalan itu. Proses apapun jika hasilnya tercapai, maka tidak penting lagi proses itu. Berproseslah, berbahasalah sesukanya selagi maksudnya tidak kabur dan bisa dimengerti oleh penyimak maka tak perlu takut bahasa itu menjelma menjadi kata-kata tak bermakna. Tentu dengan catatan proses itu terarah, tidak berantakan, tidak membingungkan, dan tidak pula proses yang dilakukan dengan cara-cara yang salah.

Dedo Dpassdpe
Pengguna Bahasa

KEHIDUPAN

life

Dulu, saya pernah mendapatkan pelajaran biologi bahwa makhluk hidup di dunia ini ada ratusan juta jenis, dan di antara ratusan jenis ini dikerucutkan lagi menjadi tiga jenis. Yaitu manusia, binatang, dan tumbuhan. Mengingat saya tumbuh di lingkungan keluarga besar pesantren yang percaya benar bahwa ada makhluk lain selain kita yang hidup di dunia, maka saya memprotes klasifikasi tersebut atas tidak dimasukannya jin, setan, dan sejenisnya ke dalam golongan makhluk hidup. Tapi guru saya bilang bahwa jin dan kawan-kawannya tidak dimasukkan ke dalam jenis makhluk hidup karena ini ilmu biologi. Beliau bilang bahwa ilmu biologi dan ilmu logi-logi lainnya itu berdasarkan sesuatu yang bisa dijelaskan secara logika. Baiklah, sampai di titik ini saya memahami penjelasan ini dan menerima alasan para dokter yang selalu berusaha menjelaskan penyakit yang diderita pasiennya dengan penjelasan yang logis walaupun penyakitnya bisa jadi karena guna-guna, santet, tenung, dan sebagainya yang semakin dijelaskan dengan logika kedokteran semakin tak bisa masuk di logika saya.

Jin, iblis, dan kawan-kawannya mungkin hanya bisa dibicarakan di ranah isme, bukan logi, sebab logi itu haruslah logis seperti kata guru saya. Tapi saya tetap memprotes guru saya atas tidak dimasukannya jam dinding, robot, televisi, mobil, dan lain-lain ke dalam jenis makhluk hidup padahal apa-apa yang disebutkan saya tadi itu hidup. Guru saya bilang bahwa jam dinding, robot, dan sebagainya tidak dapat dikategorikan sebagai makhluk hidup karena mereka bukan makhluk. Lalu apa pengertian makhluk itu sendiri? Tanya saya. Makhluk itu semua yang diciptakan oleh Tuhan, kata guru saya. Nah, kenapa biologi percaya adanya Tuhan kalau memang biologi itu harus bisa dijelaskan secara logis? Bukankah Tuhan itu gaib dan tidak bisa dijelaskan dengan logika? Kalau memang makhluk hidup itu haruslah merupakan makhluk dan eksistensinya harus bisa dijelaskan secara logis kenapa gunung dan batu tidak termasuk padahal gunung dan batu itu termasuk makhluk dan mereka itu hidup dan bisa tumbuh? Tanya saya. Guru saya bilang, gunung dan batu itu banyak yang mati, jadi bukan termasuk makhluk hidup. Tapi manusia juga banyak yang mati, tanya saya. Beliau diam.

Seperti kata Soe Hok Gie bahwa guru bukanlah dewa yang selalu benar dan murid bukanlah kerbau, saya bisa saja mendebat guru saya tentang banyak hal, tapi saya hidup untuk memahami bahwa semua hal tak harus dipahami dan hanya harus diterima saja. Ada banyak hal yang bisa kita terima tanpa harus kita mengerti. Saya pun menerima penggolongan makhluk hidup itu seperti saya menerima kenyataan bahwa di zaman Orba, Candi Borobudur masuk ke dalam jajaran 7 Keajaiban Dunia padahal sebenarnya tidak pernah masuk. Saya menerimanya sebagai sebuah kenyataan bahwa aksioma-aksioma dan hipotesa di wilayah ilmu memang kerap kali tidak bisa diterima oleh akal dan hanya harus diterima saja sebagai sebuah hasil dari akal, atau mungkin sebuah hasil akal-akalan. Orang-orang yang percaya Tuhan berdebat tentang teori Darwin yang tak masuk akal mereka, tapi Darwinian pun mendebat mereka bahwa Tuhan mereka pun tak masuk akal bagi para Darwinian. Orang-orang berdebat tentang pendaratan di bulan oleh AS, berdebat tentang bahwa sebelum menciptakan Adam, Tuhan menciptakan prototype Adam-Adam lainnya, dan debat-debat lainnya. Tapi selalu saja yang didebat itu bisa mendebat balik dan tetap bisa menjelaskan dan mendebatnya secara logis.

Sewaktu STM, saya pernah dikasih unjuk sebuah video tentang mantan biarawati yang masuk Islam dan menjadi ustadzah yang konon membongkar adanya Kristenisasi dengan membawa bukti seperti kaligrafi-kaligrafi yang bukan berasal dari Islam, atau bangunan-bangunan yang menyerupai masjid padahal bukan bangunan tempat ibadah Islam. Tapi saya juga pernah mendengar cerita orang yang keluar dari Islam dan masuk ke agama lain dan membawa kisah mukjizat yang kurang lebih sama dengan ustadzah itu, ia menemukan pencerahan hidup di agama barunya. Perdebatan-perdebatan semacam itu kadangkala saya rasa seperti pertengkaran antara JIL dan FPI. Kata JIL, FPI itu tidak benar karena merusak. Tapi kata FPI, JIL-lah yang sebenarnya tidak benar dan merusak. Persis seperti di mata orang normal, pasien-pasien RS Jiwa itu mengidap penyakit gila, tapi di mata pasien-pasien sakit jiwa itu, dokter dan pengunjung rumah sakit itulah yang gila. Persis macam orang kulit putih yang berjuang dengan susah payah untuk mendapatkan kulit berwarna, tapi orang dengan kulit berwarna juga berusaha mati-matian untuk mendapatkan kulit putih. Persis seperti orang kurus yang bertanya-tanya apa yang dilakukan oleh orang-orang gemuk sampai kesusahan untuk menguruskan badannya sendiri. Tapi orang-orang gemuk pun sama, mereka juga bertanya-tanya apa yang dilakukan oleh orang-orang kurus hingga mereka kepayahan membuat gemuk badannya sendiri. Saya menyebut ini sebagai perdebatan rumput tetangga, di mana rumput tetangga selalu kelihatan jauh lebih hijau dari milik kita sendiri, tapi kata tetangga, rumput halaman kitalah yang sebenarnya hijau.

Pemikiran-pemikiran yang debatable semacam itu sungguh banyak sekali. Banyak sekali hingga membagi makhluk ke berbagai jenis dan salah satunya adalah manusia, dan membagi manusia menjadi berbagai ras, suku, bangsa, agama dan sebagainya. Saya kira hal-hal semacam itu adalah hasil dari perdebatan-perdebatan yang membingungkan. Dan kata orang bahwa hidup adalah sebuah perdebatan mungkin ada benarnya. Dan selayaknya perdebatan yang seperti kita saksikan di tivi-tivi, maka wajar jika hidup ini membingungkan, membosankan, dan tak banyak berarti. Sebegitu membingungkannya sampai-sampai Soe Hok Gie pun bertanya pada banyak setan tentang tujuan hidup dan tak satu pun setan yang tahu. Sebegitu membosankannya sampai-sampai membuat Kurt Cobain kehilangan hasrat bahkan saat dirinya dipuja banyak orang dan memilih terbakar habis daripada memudar. (Saya tak mengerti bagaimana membosankannya hidup yang penuh dengan hujatan, wong hidup penuh dengan banyak pujaan pun ternyata bisa membosankan.) Sebegitu tak berartinya sampai-sampai Chairil Anwar pun ingin sesudah sekali merasa berarti, ingin lekas mati.

Saya rasa pengertian kehidupan seperti itu tidak hanya di mata Gie, Cobain, dan Chairil saja. Banyak di antara kita yang merasakan hal seperti itu. Hanya saja, doktrin agama, psikologi, dan lain sebagainya mendogma kita untuk selalu tampil optimis menunaikan hidup, penuh cinta, selalu gembira, dan penuh motivasi menjalani kehidupan seolah-olah kita semua dibayar untuk hidup. Hahaha.

Lalu apa tujuan hidup? Ketika ditanya tentang itu oleh seorang teman, saya dengan jawaban lugas dan kalimat yang ditekankan agar terdengar berwibawa seperti seorang motivator yang hidupnya selalu optimis menjawab bahwa tujuan hidup kita adalah menjadi berarti bagi yang lainnya. Itu saja. Jadi selagi berarti dan berguna bagi sesama maka tujuan hidup kita telah tercapai. Tapi di balik jawaban yang sok memotivasi itu pun saya menyimpan banyak pertanyaan apakah benar tujuan hidup seperti itu, lalu jika tujuan hidup sudah tercapai apakah kita boleh memilih mati saja? Jika benar hidup adalah sebuah pilihan, maka pilihan yang lainnya itu mati bukan? Jika benar tujuan hidup seperti itu maka apakah Gie, Cobain, dan Chairil yang ketiganya meninggal di usia muda (dan anggota Club 27 lainnya) sudah tercapai tujuan hidupnya? Jika benar, apakah orang-orang yang hidupnya sampai tua adalah orang yang terlunta-lunta mencari tujuan dan tak kunjung menemukannya? Jika benar seperti itu, ah beruntung sekali orang-orang yang meninggal di usia muda. Mereka mengerti bahwa hidup adalah ujian dan sebagaimana ujian maka yang menyelesaikan hidupnya cepat-cepat adalah orang-orang yang cerdas, dan betapa bebalnya kita berlama-lama hidup dan tak bergegas merampungkannya.

Soal meninggal di usia muda, saya dulu pernah punya tetangga yang lahir di zaman entah. Dulu sekali, sampai beliau sendiri pun lupa tahun berapa saking lamanya, dan ketika ditanya berapa usianya, beliau selalu menjawab 100 tahun. Tahun dulu ditanya, jawabnya 100 tahun. Tahun kemarin ditanya, jawabnya 100 tahun. Dan tahun pada waktu itu ditanya, jawabnya pun sama, 100 tahun. Usianya seperti abadi di umur 100 tahun. Namanya Kintel. Namanya pun aneh karena kintel di desa kami berarti kodok. Tapi itu wajar saja karena beliau lahir di zaman dulu sekali. Zaman saat nama seperti Runtah, Ribut, dan sebagainya dianggap baik-baik saja dan tak perlu diperdebatkan. Beliau adalah penyandang KTP seumur hidup dari sejak saya belum lahir, pertanda beliau sudah dianggap tua sudah sejak zaman dulu. Beliau mengklaim bahwa beliaulah yang usianya paling tua di desa kami, dan saya percaya saja padahal kata orang-orang yang sama tuanya bilang bahwa Pak Kintel berusia 80-an tahun.

Nah, pada suatu hari, Pak Kintel ini ditinggal mati istrinya, dan beberapa hari kemudian (belum genap 7 harian seingat saya,) beliau ditinggal mati anaknya yang masih berusia muda dan menurutnya belum pantas mati. Beliau saya lihat tak menangis saat istrinya meninggal. Tapi saat anaknya meninggal, beliau menangis tersedu-sedu seakan-akan kehilangan segalanya sampai-sampai beliau salah mengucap kalimat Innalillah dengan kalimat Alhamdulillah. “Alhamdulillah Ya Allah. Alhamdulillah Ya Allah…,” begitu beliau mengekspresikan rasa dukanya di hadapan jenasah anaknya. Saya tidak tahu apakah kalimat yang terlontar dari mulutnya adalah ucapan yang disengaja atau ucapan yang keluar dari mulut seorang yang pikun mengingat usianya yang sudah sangat tua. Saya dan tentu saja hadirin pelayat dibuatnya mual perut karena ingin tertawa atas kesalahan itu tapi ditahan-tahan mengingat suasana sedang berkabung. Tak elok jika tertawa.

Tapi seiring saya dewasa, saya mengerti mungkin Pak Kintel mengucapkan kalimat Alhamdulillah sebagai wujud syukurnya atas meninggalnya anaknya itu. Mungkin beliau penganut kepercayaan bahwa mereka yang meninggal di usia muda adalah orang-orang yang beruntung dan berkaca pada dirinya bahwa semakin menua usia maka semakin tidak beruntung dan hidup akan semakin menyedihkan karena akan semakin sering dirinya menjadi saksi kematian orang-orang terdekatnya, semakin sering mengalami kehilangan-kehilangan. Maka mati di mata saya dan Kintel bukan merupakan suatu hal yang menakutkan. Dan ketika suatu kali saya menangisi kematian, maka bukan kematian yang saya tangisi, tapi kehilangannya yang saya tangisi. Saya sedih karena kehilangan orang-orang berarti dalam hidup saya. Saya sedih kehilangan emak saya, Gie, Cobain, Chairil Anwar, dan orang-orang yang tujuan hidupnya seperti kata saya di tengah tulisan ini, ‘Menjadi berarti bagi yang lainnya’. Saya sedih kehilangan arti dan sekaligus senang karena orang-orang yang saya sebut tadi setidaknya pernah hidup dan menjadi berarti bagi saya. Saya bahagia tujuan hidup mereka tercapai. Dan persangkaan saya sewaktu mengira Pak Kintel menangisi anaknya yang mati karena dianggap belum pantas mati itu salah. Ternyata, tak ada kata terlalu muda untuk mati.

Fakta bahwa tak ada terlalu muda untuk mati itu benar. Pameo bahwa hidup ini sangat singkat itu benar adanya karena memang fase hidup memang begitu singkat. Kita lahir, menjadi anak, kecil, dewasa, punya anak, lalu mati. Itu saja. Jika beruntung, fase itu bisa kita tambahkan punya cucu, punya cicit, dan seterusnya. Jika tak beruntung, fase itu bisa berkurang menjadi hanya lahir, jadi anak, kecil, lalu mati. Atau singkat sekali, lahir, lalu mati. Beruntung dan tidak beruntung pun lagi-lagi seperti perdebatan rumput tetangga, beberapa orang menganggap yang fase hidupnya sampai menua dan punya cucu itu orang yang beruntung, sementara beberapa orang lainnya menganggap yang fase hidupnya singkat hanya lahir untuk mati saja itulah yang beruntung. Membingungkan bukan? Ya, wajar saja. Kita sedang membicarakan hidup dalam pengertian perdebatan. Membingungkan adalah kewajaran dalam sebuah perdebatan.

Perkara hidup yang membingungkan ini, saya punya cerita yang mungkin kita semua mengalaminya. Dahulu, dahulu sekali. Semasa kecil, saya ingin lekas menjadi dewasa. Di mata saya waktu itu, menjadi dewasa itu menyenangkan, kita bisa bebas melakukan apa saja karena kita sudah dewasa. Tapi setelah dewasa, saya mengerti bahwa kita didewasakan untuk memahami ternyata masa kecil adalah masa yang paling menyenangkan. Tuduh-menuduh seperti itu lagi-lagi persis orang sakit jiwa yang menganggap orang normal itu tak waras, tapi orang normal juga menganggap orang sakit jiwalah yang sebenarnya gila. Yang saya takutkan setelah memahami perdebatan-perdebatan rumput tetangga itu adalah begini, saya sekarang masih hidup dan iri kepada mereka yang mati karena menganggap mati itu menyenangkan. Saya ngeri ketika nanti saya mati, di dalam alam kematian sana, saya akan iri pada kehidupan karena ternyata kehidupanlah yang sebenarnya menyenangkan. Pusing bukan? Mari berhenti berdebat.

Dedo Dpassdpe
Makhluk Hidup

Tulisan ini dipersembahkan untuk mengenang hari ulang tahun Dwi Fitriyani yang ke 27 yang jatuh di hari yang sama pada saat 7 harian kematiannya. Saya bangga kamu masuk ke dalam Club 27.

Mohon tulisan ini jangan dipahami sebagai tulisan yang dogmatis dan jangan dijadikan sebagai anutan. Tulisan ini untuk keperluan bacaan saja agar kita memahami kehidupan di mata seorang nekrofilia atau kehidupan di mata seorang narsis seperti kata Cobain, yang baru menghargai sesuatu jika sesuatu itu sudah tidak ada lagi.

Apalah Arti Sebuah Nama

apalah-arti-sebuah-nama

Juliet berkata, “Hanya namamu yang menjadi musuhku. Tapi kau tetap dirimu sendiri di mataku. Bukan Montague. Apa itu Montague? Ia bukan tangan, bukan kaki, bukan lengan, bukan wajah, atau apapun dari tubuh seseorang. Jadilah nama yang lain. Apalah arti sebuah nama? Harum mawar tetaplah harum mawar. Meskipun mawar berganti dengan nama lain, ia tetap bernilai sendiri, sempurna, dan harum tanpa harus bernama mawar. Romeo, tanggalkanlah namamu. Untuk mengganti nama yang bukan bagian dari dirimu itu. Ambillah diriku seutuhnya.”

Mari merenung. Pernahkah kita bertanya pada orang tua kita apa maksud nama yang diberikan oleh orang tua kepada kita? Orang tua kita, atau lebih spesifiknya orang tua saya yang terlahir dari keluarga desa yang orang tuanya terlahir entah kapan, menikah saat masih di sekolah dasar, dan tidak pernah mencatatkan kelahiran di catatan kependudukan sipil kalau tidak disuruh-suruh oleh tokoh desa, mungkin tak pernah memunyai maksud apa-apa dalam memberikan nama pada anaknya. Wong kelahirannya sendiri saja beda-beda di setiap kartu identitas apalagi mencatatkan kelahiran anaknya dengan catatan yang tepat kelahirannya dan keren namanya seperti nama-nama orang kota yang mengandung kata David, Steven, Christian, Dimitri, Alexander, dan lain sebagainya. Maka di desa, orang tua seperti ini adalah orang tua yang paling banyak jenisnya, memiliki tanggal lahir yang gampang dan mudah diingat. 17 Agustus.

Saya sendiri pernah bertanya pada ibu saya tentang asal-usul nama saya. Lalu beliau menjawab dengan rinci dan detail sampai pada proses beliau melahirkan saya, menamai saya, membetulkan tidur saya waktu bayi jika tidur saya miring biar kepalanya tidak peyang, mengajari saya berjalan, dan banyak lagi. Beliau bilang, nama saya diberikan oleh Uwak saya. Kakak dari ibu saya. Kakak dari ibu saya adalah seorang kyai dan ulama panutan di desa. Seluruh desa adalah murid ngaji Uwak saya. Beliau dihormati dan disegani sampai-sampai kalau orang di desa ada yang sakit, minta obat di sana. Dengan metode penyembuhan mistik memakai doa, spidol, dan air putih. Uwak saya juga sering jadi juru runding antar dua tetangga yang bertengkar hebat seperti dua ekor kucing senewen hingga ketua RT di wilayahnya tak bisa mengendalikannya. Uwak saya jadi tujuan bersilaturrahim jika lebaran tiba. Uwak sayalah orang yang dicari jika ada orang kesurupan. Uwak saya juga jadi orang yang dicari untuk diminta pertolongan jika bayi-bayi di desa kesulitan bertahan hidup setelah terlahir. Uwak saya bahkan menamai banyak anak-anak yang terlahir yang sampai hari ketujuh orang tuanya tak kunjung menemukan nama yang cocok. Orang-orang di desa sebelum datangnya era Uwak saya menjadi panutan, sembarangan sekali menamai anaknya hingga ada orang yang bernama Runtah (bahasa Jawa dari sampah), Ribut (bahasa Jawa dari kekacauan), Glodok (bahasa Jawa dari kepala besar), Kintel (bahasa Jawa dari kodok), Tobat, Rawan, dan lain-lain.

Untuk menghormati Uwak saya, ibu meminta Uwak saya untuk memberikan nama pada saya. Diberilah nama itu. Islami sekali. Seperti kebanyakan lelaki muslim, bernama depan Mohamad. Biar jadi ustadz, kata Uwak saya. Lebih lengkapnya nama saya adalah terinspirasi nama dari saudagar kerabat dari Sunan Ampel. Hal ini saya ketahui setelah saya beranjak besar dan mencari juntrungan dengan banyak membaca, saat itu membaca buku tentang Wali Songo.

Ibu saya sendiri sebenarnya adalah orang yang sangat awam. Tipikal perempuan Jawa yang manut, tak banyak mau, terimaan. Beliau tidak pernah tahu nama saya artinya apa dan tidak pernah berusaha mencarinya. Asal berbahasa Arab, maka baguslah nama itu. Seperti doa. Padahal tidak semua kata dalam bahasa Arab itu doa. Tapi tak apa, di dalam sebuah pertandingan sepakbola Indonesia Vs Yaman yang saya tonton langsung di Bandung beberapa tahun lalu, banyak orang berteriak, “Aamiin!” saat nama-nama pemain Yaman disebutkan. Maka ibu saya bukan termasuk kaum minoritas. Awam adalah hal yang jamak di negeri kita ini.

Saking awamnya ibu saya, dan juga bapak saya, mereka berdua pun tak pernah mengingatkan atau memberi ucapan apapun saat tiba hari kelahiran saya dari tahun ke tahun. Sampai saya memasuki usia sekolah. Tapi di sekolah pun, anak-anak lain, kawan-kawan satu kelas saya tak pernah ada yang merayakan hari ulang tahun. Dosa dan bukan budayanya, kata para orang tua jika anaknya bertanya kenapa tidak pernah dirayakan hari lahirnya. Anak-anak satu desa pun kompak menuruti mitos turun-temurun para orang tua dari orang tua dan orang tua dari orang tua mereka. Kakek moyang kita. Maklum, anak-anak di desa begitu patuh dan takut dosa.

Hal itu berlangsung sampai saya lulus sekolah dasar dan memasuki sekolah menengah. Di SMP, yang kebetulan saya lolos masuk ke sekolah favorit satu kecamatan, saya baru menjumpai anak-anak yang lahir dari keluarga modern yang orang tuanya mengucapkan, bahkan merayakan hari ulang tahun anaknya. Tapi saya tak pernah merayakannya. Saya terbiasa tidak merayakan kegiatan ini sampai-sampai saya lupa kegiatan ini harus dirayakan pada tanggal berapa. Kawan, ini sungguh. Kalau kita biasa dilupakan, kita juga akan terbiasa melupakan. Saya tak ingat betul hari kelahiran saya. Kalau pun saya ingat, saya ragu hari kelahiran itu apa benar-benar hari kelahiran saya. Mungkin saja di setiap surat kependudukan, hari kelahiran saya berbeda-beda seperti hari kelahiran bapak saya di berbagai surat catatan sipil. Maka jadilah dari tahun ke tahun saya tak pernah merayakannya karena saya tak biasa. Satu-satunya orang yang ingat hari kelahiran saya adalah seorang perempuan pendiam (lebih tepatnya, mendiamkan saya, atau saya yang mendiamkannya, atau kami saling diam) yang sebut saja bernama Bunga di kelas saya. Itu pun selama tiga tahun hidup satu kelas, baru ia mengucapkannya pada kelas tiga. Menjelang perpisahan kelulusan. Itu pun diucapkan melalui buku diari. Itu pun buku diari entah milik siapa. Itu pun tidak menyebut nama saya dan hanya menyebut hari kelahiran saya saja. Itu pun kalau saya tidak baca buku itu, saya tidak pernah tahu. Itu pun saya dipaksa membacanya oleh teman saya. Itu pun saya tak yakin dari seisi kelas, cuma saya yang memiliki hari kelahiran itu. Tapi tidak mengapa, orang yang terbaik punya rasa malu yang besar. Bahkan untuk menunjukkan perhatian pun malu apalagi untuk melakukan kejahatan.

Tahun demi tahun berlalu. Beranjaklah saya lulus sekolah dan harus masuk sekolah menengah tingkat atas. STM. Saya memilih STM karena saya mengidap ketakutan tak beralasan berurusan dengan perempuan. Venustraphobia namanya. Dan ini lagi, kawan. Pengaruh sebuah kebiasaan. Terbiasa didiamkan, akan membuat orang-orang menghindari sesuatu yang mendiamkannya. Maka saya menghindari pertemuan-pertemuan dengan para perempuan di hari-hari sekolah menengah tingkat atas saya. Sudah cukup tiga tahun saya saling diam di SMP. Jangan sampai berlanjut ke tingkat sekolah berikutnya. STM saya pilih. Sekolah yang semua siswanya adalah laki-laki.

Di STM, saya berkawan dengan bencoleng-bencoleng preman puber masa sekolah yang sedang giat mencari jatidiri dan mencari nama. Saya yang sudah nakal dan bandel dari sejak belum bertemu mereka, jadi makin tidak karuan. Tawuran, mengamen, ditangkap polisi, memalak, membolos, adalah hari-hari saya. Orang-orang dari golongan ini, bahkan hidupnya sendiri pun tidak disayang apalagi menyayangi hidup orang. Apalagi mengingat hari lahir kawannya, wong ulang tahun sendiri pun persetan. Maka cocoklah saya di lingkungan ini.

Tahun pertama di sekolah, saya merasa cocok. Tahun kedua ternyata berbeda, ternyata saya semakin cocok sekali. Saya pun betah. Tapi pada tahun itu, paman saya membuka radio kampung di desa. Bermodalkan tiga buah tape, kaset pinjaman, kertas atensi yang dijual perlembar lima ratus rupiah, dan alat-alat seadanya, paman saya membuat siaran radio. Saya didapuk menjadi penyiarnya untuk bersiaran pada jam musik pop. Maka saya mengurangi kenakalan saya di sekolah untuk menjadi penyiar radio kampung yang baik.

Karena siaran radio, digantilah nama saya yang islami dan religius itu menjadi Dedo Dpassdpe. Karena biar tidak terkesan salah tempat, siaran musik pop kok namanya berbau pesantren. Cool sekali nama itu saya pikir. Agak rumit nama belakangnya tapi. Jika Shakespeare bertanya pada saya apalah arti sebuah nama, maka nama itu keren sekali jika saya sampaikan tanpa harus menjelaskan artinya. Tapi sebenarnya Dpassdpe adalah sebuah singkatan dari tanggal lahir. Saya menentukannya sembarang. Dpassdpe terbesit begitu saja tanpa utak-atik yang njlimet. Keluar dari otak begitu saja seperti kudanil menguap. Tanpa harus minta petunjuk kyai. Tanpa harus menunggu tujuh hari. Tapi Dpassdpe juga terkesan keren dan pantas menjadi penyiar musik pop meskipun radionya hanya radio kelas kampung yang kalau hujan tidak ada siaran, yang siarannya cuma di prime time saja. Dpassdpe terkesan rumit dan keren (saya tidak habis pikir kenapa orang yang sok rumit merasa dirinya keren) seperti nama orang Eropa yang berawalan David, Steven, dan sebagainya. Setingkat lebih mudah dibanding nama belakang Arnold, nama kiper Arsenal, dan nama terduga pengebom Boston.

Tapi memang dasar orang udik, biar nama dibuat macam apa sekali pun tetap kampungan. Hari pertama siaran, musik diulang-ulang itu-itu saja karena kami kekurangan kaset. Hari berikutnya, musik sering berhenti di tengah jalan karena salah memutar kaset atau yang lebih parah adalah pita kasetnya nglolor. Minggu pertama, suara saya masih bocor jika musik sudah diputar karena saya lupa mematikan michrophone. Minggu berikutnya saya bosan karena yang membeli atensi orang-orang itu saja. Amatir sekali radio kampung kami. Sebulan kemudian radio ditutup karena teman saya (masuklah ke surga kawan saya, Ibnu Kholdun) meninggal dunia kesetrum antena relay yang dipasang maksudnya untuk memperbesar jangkauan siaran radio. Maka tamatlah nama Dpassdpe dalam usia sebulan.

Tapi ternyata nama itu berguna untuk mengingatkan hari lahir saya. Saya yang setelah dewasa mencari-cari asal-usul dan menemukan bahwa hari lahir saya sama dengan hari lahir Muhammad, orang terbaik sedunia versi buku Michael H. Hart, dan Adolf Hitler, orang terjahat sedunia versi buku yang sama, baru sadar ternyata hari lahir saya gampang diingat seperti hari lahir kebanyakan orang tua yang kompak di tanggal 17 Agustus. Tapi nama itu berguna untuk mengenalkan diri saya. Jika saya mencorat-coret tembok dengan cat Pilox saat membolos sekolah, saya bangga menuliskan nama itu. Meski teman-teman saya tidak ada yang tahu arti nama itu. Nama itu pun menjadi semacam sayembara, jika yang sukses menebak adalah pria maka saya anggap sahabat. Jika yang berhasil menebak adalah perempuan, maka terserah orang itu mau menganggap saya apa. Pacaran boleh, berteman juga tak apa. Hal ini berlangsung sampai tahun 2006. Saya sudah tinggal di Jakarta. Tidak ada yang tahu arti nama itu, sampai seorang perempuan datang dalam hidup saya dan menanyai segala hal tentang saya. Nama saya itu pun ditanya apa maksudnya, tapi saya tidak menjawabnya. Maka diutak-atiklah nama itu sampai empat tahun kemudian kami yang sempat terpisah dipertemukan kembali. Dia datang dengan membawa sebuah tebakan. Hampir tepat. Karena sudah berjanji akan menerima dirinya jika dia berhasil menebak nama saya, dan kebetulan saat itu saya single, maka saya menerimanya. Kami pun jalan.

Setelah peristiwa itu, banyak orang yang bertemu saya, di dunia nyata, di tempat kerja, di perkumpulan pertemanan, di internet, di Facebook, di Twitter, di BBM, di mall, di pasar, di mana saja selalu ingin tahu nama yang aneh dan sok rumit itu. Semakin banyak orang yang menginginkan mengetahui apa artinya, semakin banyak orang yang berusaha membongkarnya. Maka terbongkarlah nama itu. Dpassdpe, Dua Puluh April Seribu Sembilanratus Delapan Puluh Enam. Masih muda, kan? Selamat buat siapa saja yang mengira usia saya di atas tiga puluh tahun, empat puluh tahun, dan seterusnya. Selamat buat yang memanggil saya, “Oom,” “Pak,” “Bang,” dan “Kak,” selama ini padahal mereka lebih tua ketimbang saya. Bingo! Dan selamat bagi siapa saja yang berhasil membongkarnya. Eureka! Ah, iya. Buat yang berhasil menebak, hari ini saya masih single lho (kode).

Happy Dpassdpe Day!

Dedo Dpassdpe
Pria yang Rumit dan Njlimet

RETORIKA

retorika

Twitter kedatangan warga baru. Belum genap sebulan, belum banyak jumlah tweets-nya, tapi sudah naik drastis jumlah followers-nya. Terang saja, lha wong dia @SBYudhoyono kok, orang dia presiden Indonesia ya jelas populer. Apalagi orang dengan mobil berplat RI 1 ini sudah populer dari zaman dia konon tersiksa di pemerintahan Megawati lalu keluar dari kabinet dan melawan Megawati dengan memosisikan diri sebagai korban. Drama sekali. Tapi memang, playing as victim, atau menjual sesuatu yang menyedihkan itu cepat sekali membuat orang lain iba lalu berpihak kepadanya. Setidaknya Very AFI, Aries Idol, Ikhsan Idol, Kangen Band, dan lain sebagainya telah membuktikan trik ini memang jitu.

Kalau kita iseng pergi ke tab mention-nya, setiap detik kita akan disuguhi reply atau mention lucu dari para penghuni Twitter. Siapa saja bisa seolah-olah mendapat kesempatan untuk berbicara dengannya. Ada yang cuma iseng, ada yang mengajak ngobrol, ada yang menawarkan barang, minta follback, menyindir, menghina, memberi nasihat, sampai ada juga akun Twitter bintang film porno luar negeri yang entah maksudnya apa mengajak bicara dengannya. Betapa kesempatan yang langka. Presiden pun berhak untuk mengabaikan mana-mana yang perlu diabaikan, dan menjawab mana-mana yang perlu dijawab.

Kesempatan berbicara dengan nada apa saja ini sesungguhnya anugerah dari iklim demokrasi. Di zaman Orba, berani bicara dengan sedikit nada sumbang saja mengenai pemerintahan apalagi presiden, maka malam harinya orang itu akan dijebloskan ke penjara, atau dihilangkan dari masyarakat, diculik, dibunuh.

Nah, sebenarnya beberapa pekan sebelum presiden menulis tweets pertamanya, demokrasi kita terancam oleh kemunculan kembali draft pasal tentang penghinaan presiden. Saya tidak pernah habis pikir ada pasal semacam ini. Sebegitunya terancamkah nama baik hingga harus mengancam lebih dulu calon penghina nama baik melalui peraturan? Draft ini sesungguhnya pernah muncul di tahun 2006, saat itu tivi sedang gemar-gemarnya menayangkan acara parodi tentang negara, sedang giat-giatnya menertawakan pemerintah yang pintar dan menertawai diri sebagai rakyat yang bodoh.

Isi draft itu pun sebenarnya rancu (sila browsing sendiri) dan hanya mencerminkan kemunduran demokrasi, menampilkan sikap yang antikritik. Tidak dijelaskan kalimat atau kata-kata mana yang masuk kategori menghina, dan karena ketidakjelasan ini, semua orang bisa saja dijerat oleh pasal ini jika berani menyindir presiden. Pasal yang aneh dan mengada-ada saja. Pasal yang dibuat sekadar untuk menjadi tameng politik atas nama hukum demi melindungi wibawa presiden. Sebuah usaha yang salah, mengharap dicintai dengan mengancam orang-orang yang tidak bersedia mencintai. Bukan dengan melakukan upaya yang mendatangkan penghargaan seperti yang dilakukan Jokowi.

Saya tidak tahu persis dihidupkannya kembali draft itu apa berkenaan dengan munculnya akun Twitter SBY atau tidak. Yang saya yakin adalah kemunculan akun Twitter presiden ini adalah upaya mengangkat kembali citra diri dan citra partai politiknya mengingat selain sebagai presiden, SBY juga menjabat sebagai ketua umum Partai Demokrat. Kedua hal ini tidak bisa dijauhkan dari sikap dan pendirian SBY yang meskipun peragu tapi pandai bermanuver melakukan hal-hal yang sebelumnya ditentangnya dan tabu untuk dilakukan. Saya tahu betul SBY pernah berbicara tentang salah satu tokoh perempuan yang gagal menjadi anggota partainya tapi ngobrol-nya di Istana Negara. Sebuah tempat yang tidak etis untuk bicara tentang sebuah kepentingan golongan, apalagi kapasitasnya sebagai presiden. Saya ingat betul beberapa waktu sebelum SBY diberi kendali untuk mengendarai partainya, dia pernah bilang bahwa menteri-menterinya tidak boleh mengurusi partai. Sekarang apa? Malah dia mengemudikan partai sambil menyetir negara. Standar ganda, melarang orang lain berbuat tapi melakukannya sendiri. Tapi sudahlah, mungkin itu hanya statement untuk menteri, tidak berlaku untuk presiden.

Citra atau pencitraan itu sendiri adalah hal yang lumrah jika orang menginginkan sesuatu. Seperti orang berpacaran, berbaik-baik ketika mengharapkan sesuatu. Begitu pula pencitraan dalam dunia politik. Dibuatnya akun Twitter SBY menjelang dimulainya era pemilihan umum tak ubahnya untuk menaikkan kembali pamor partainya yang belakangan sering tersandung kasus korupsi. Menggunakan SBY sebagai alat untuk mendapat partisan itu tak salah karena SBY pernah sangat populer beberapa tahun lalu. Kepopuleran itu pun sepertinya masih bisa diharapkan jika kita melihat betapa cepat bertambah jumlah followers-nya hanya dalam kurun waktu yang singkat. Saya tidak menyangka ternyata presiden kita sepopuler itu di Twitter, padahal isi Twitternya hanyalah retorika. Padahal orang-orang tahu, dan pernah dalam beberapa waktu lampau saat presiden belum bergiat di Twitter, mengabaikan, menghina, menertawai, dan meninggalkan tidur jika presiden berpidato di tivi. Masih ingat hal ini? Ah, kita sama-sama memiliki standar ganda dan retoris.

Dedo Dpassdpe
Warga Negara