Film adalah media yang baik untuk menangkap sejarah. Film merekam dengan baik proses budaya suatu masyarakat lalu menyajikannya dalam bentuk gambar hidup, bisu atau pun bersuara. Film berfungsi di antaranya adalah sebagai media informasi dan juga sebagai media sosial karena melalui film, masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat di suatu tempat pada masa tertentu.
Film di Indonesia mencapai kejayaannya pada era 70-an sampai 80-an, yaitu sebelum berdirinya stasiun-stasiun televisi swasta. Namun, film sebenarnya sudah sangat lama ada di Indonesia, yaitu diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di Tanah Abang, dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film bisu. Kemudian pada tahun 1926, untuk pertama kali film dibuat di Indonesia, adalah film bisu yang berjudul Loetoeng Kasaroeng yang dibikin oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp.
Mempelajari sejarah film, budaya, dan apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada saat tertentu, pasti kita tak lepas dari film-film lawas. Nah, setelah pada tulisan sebelumnya saya menulis tentang film Indonesia terbaik periode 2000-an ke atas versi saya, kini saatnya saya menyortir sepuluh film jadul kita yang layak untuk ditonton. Berikut ini daftarnya:
10. Perkawinan (1972)
Menceritakan tentang Mas Tok (Sophan Sophiaan), anak seorang ningrat kaya yang sedang belajar di Belanda berjumpa dengan Inge (Widyawati), seorang karyawati biro perjalanan Nitour. Mereka menikah, namun tak kunjung memiliki anak karena penyakit yang diderita oleh Mas Tok. Ketika mereka kembali ke Indonesia, pasangan ini tak disukai oleh orang tua Mas Tok sebab Mas Tok sudah dijodohkan dengan gadis lain. Untungnya si gadis itu sudah memiliki pacar, sehingga kawin paksa urung dilakukan.
Kemudian Mas Tok kembali ke Eropa untuk proses penyembuhan penyakitnya. Selama waktu itu, Inge diusir mertuanya karena hamil. Ia dianggap main serong. Ketika Mas Tok kembali dan tak menemui istrinya, ia menyalahkan orang tuanya, karena sebetulnya bayi itu adalah anaknya. Dalam hujan salju, Mas Tok kembali menemui Inge, persis seperti pada awal pertemuan, kali ini disaksikan oleh orang tua Mas Tok.
Film yang disutradarai oleh Wim Umboh ini memenangkan Piala Citra sebagai Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Skenario Terbaik, Editing, Fotografi, Musik, Suara, dan Artistik Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1973.
9. Badai Pasti Berlalu (1977)
Badai Pasti Berlalu menceritakan tentang Siska (Christine Hakim) yang patah hati karena pacarnya membatalkan perkawinan mereka dan menikahi gadis lain. Siska yang kehilangan semangat hidup memutuskan keluar dari pekerjaannya dan hidup menyendiri. Kemudian datanglah Leo (Roy Marten), mahasiswa kedokteran yang mencoba mendekati Siska demi pertaruhan.
Siska yang semangat hidupnya sudah kembali, lagi-lagi patah hatinya begitu mengetahui bahwa usaha Leo hanya demi uang pertaruhan dengan kawan-kawannya. Kisah menjadi semakin runyam dengan hadirnya Helmy (Slamet Rahardjo) di kehidupan Siska. Pianis yang pernah belajar ke luar negeri inilah yang akhirnya mengawinin Siska dengan todongan pemerasan, sebab ayah Siska mempunyai gundik, yaitu adik Helmy sendiri. Badai demi badai melanda hidup Siska. Namun, pada akhirnya memang badai pasti berlalu.
Film karya Teguh Karya ini mendapat Piala Citra di FFI 1978 di kategori Fotografi, Editing, Suara, dan Musik. Film yang dibuat berdasar novel karya Marga T. berjudul sama dan dibuat ulang pada tahun 2007 ini juga mendapatkan Piala Antemas karena menjadi film terlaris kedua pada periode 1977 – 1979 dengan 212.551 penonton (film terlaris ditempati oleh film Akibat Pergaulan Bebas).
8. Pengkhianatan G-30-S PKI (1982)
Pengkhianatan G-30-S PKI adalah sebuah dokudrama yang kisahnya begitu meyakinkan dari sudut pandang tertentu. Film ini mengisahkan tentang peristiwa masa-masa bergantinya Orde Lama ke Orde Baru, yaitu tentang kudeta yang terjadi seputar tanggal 30 September 1965 oleh Kol. Untung (Bram Adrianto), Komandan Batalyon Candra Birawa. Tujuh jenderal terbunuh dalam peristiwa ini, kemudian tampillah Mayjend Soeharto (Amoroso Katamsi) sebagai penyelamat.
Menurut data Perfin, film ini menjadi film terlaris pada masanya dengan jumlah penonton 699.282 orang. Jumlah ini menjadi rekor tersendiri dan tidak terpecahkan sampai tahun 1995. Film ini kemudian menjadi tayangan wajib yang selalu diputar oleh televisi pada malam tanggal 30 September setiap tahunnya sebagai program propaganda pemerintah Orde Baru. Namun mulai September 1998 (tahun lengsernya presiden Soeharto), Menpen Yunus Yosfiah mengumumkan bahwa film ini tidak akan diputar dan tak diedarkan lagi karena berbau rekayasa sejarah. Meski saya setuju bahwa film ini memang dibuat sebagai corong pemerintah untuk mencitrakan baik tentang Soeharto dan membunuh citra PKI (Partai Komunis Indonesia) yang menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia pada masa itu, dari segi cerita dan berbagai aspek yang mendukung film ini, film ini adalah film yang sangat fenomenal yang pernah dibuat di Indonesia.
Film yang disutradarai Arifin C Noer dan skenario yang ditulisnya sendiri ini mendapat Piala Citra di FFI 1984 untuk skenarionya, dan mendapat Piala Antemas di FFI 1985 sebagai film paling banyak ditonton pada saat itu.
7. Gengsi Dong (1980)
Pernah lihat pesawat terbang bisa terbang mundur? Pernah dengar spesies monyet bau, kadal bintit, muka gepeng, kecoa bunting, babi ngepet, dinosaurus, brontosaurus? Pernah dengar lagu Jepang terlaris pada masanya berjudul Sukiyaki diacak-acak liriknya oleh Kasino dan bikin kita tertawa terpingkal-pingkal? Semua itu hanya ada di film-filmnya Trio Warkop Dono, Kasino, Indro (DKI).
Rasanya kurang lengkap jika saya tidak menaruh film Warkop DKI ke dalam jajaran film-film terbaik Indonesia. Film-film Warkop DKI yang biasanya beredar di bioskop untuk menyambut Hari Lebaran atau Tahun Baru Masehi adalah yang terbaik di genre-nya. Meski di beberapa film, mereka menjual komedi slapstick dan adegan vulgar demi menjaring penonton bioskop (di film Bisa Naik Bisa Turun, ada scene Indro bertanya ke Dono, “Kalau adegan pantai batal, lo mau tanggung jawab kalau penonton marah?” Lalu Dono menjawab, “Iya yah, kan di sini komersilnya.”), film-film mereka juga diselipi dengan kritik-kritik sosial khususnya untuk pemerintah pada masa itu. Dan jika harus memilih film terbaik trio yang mengawali karir di Radio Prambors ini, saya memilih film Gengsi Dong sebagai film terbaik mereka.
Gengsi Dong adalah film kedua Warkop DKI di antara 30-an lebih judul film yang pernah mereka bintangi. Menceritakan tentang tiga mahasiswa di Jakarta yang selalu bersaing masalah perempuan dan gengsi. Dono yang berperan sebagai Slamet, adalah anak juragan tembakau terkaya di daerahnya, sedangkan Kasino yang memerankan Sanwani adalah anak pemilik bengkel sehingga mobil yang digunakannya selalu berganti-ganti, dan Indro berperan sebagai Paijo yang konon adalah anak dari seorang pengusaha minyak, berbagai macam jenis minyak. Mereka bertiga memperebutkan seorang perempuan bernama Rita (Camelia Malik) yang merupakan anak dari seorang dosen di mana mereka kuliah.
Di film ini, ada banyak sindiran dan kritik sosial tentang kebanggaan kelas sosial di masyarakat dan juga kritik terselubung yang tentu saja untuk pemerintah. Film Gengsi Dong ini adalah film Warkop DKI yang bisa dikatakan masih lurus, tak banyak dibumbui adegan slapstick semacam Dono kepleset atau Indro yang kakinya masuk got, dan juga tak ada adegan pantai yang penuh dengan wanita berbikini. Namun begitu, film ini tetap tak kalah menghibur dibanding film-film mereka lainnya.
6. Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985)
Sebuah skenario cerdas yang dibuat oleh Asrul Sani, pengarahan yang kuat dari Chaerul Umam, sang sutradara, dan dilengkapi akting yang baik oleh Deddy Mizwar, Lydia Kandou, Ully Artha, dan Ikranagara, maka hasilnya, film ini menjadi salah satu film komedi terbaik yang pernah dibuat oleh sineas kita.
Kejarlah Daku Kau Kutangkap adalah sebuah cerita kocak tentang cinta dan gengsi. Cerita berawal dari Mona (Lydia Kandou) yang seharusnya mendapat hadiah uang karena potretnya terkena lingkaran dalam sebuah rubrik. Tapi atas hasutan Marni (Ully Artha) temannya, Mona malah menuntut juru potret itu, Ramadhan (Deddy Mizwar) dengan alasan fotonya jelek. Panji (Usbanda), pemimpin redaksi, minta agar Ramadhan dapat menggagalkan niat Mona. Ramadhan berhasil, bahkan Ramadhan dan Mona akhirnya menikah. Kisah demi kisah terjadi dalam rumah tangga mereka. Tak jarang mereka cekcok yang mengakibatkan mereka terpisah lantaran besarnya gengsi di antara mereka. Namun cinta akhirnya mengalahkan segalanya.
5. Naga Bonar (1986)
Asrul Sani lagi-lagi membuktikan kepiawaiannya sebagai salah satu penulis cerita terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini. Bekerjasama dengan MT Risyaf, sang sutradara, Asrul yang pandai menghadirkan dialog yang memicu tawa, berhasil membuat sebuah film yang dialog-dialognya banyak mengandung makna luhur. Adalah Naga Bonar judul film tersebut.
Naga Bonar (Deddy Mizwar) adalah seorang bekas pencopet di Medan yang sering keluar-masuk penjara. Ia adalah seorang yang naif dan nekad, namun setia kawan dan jujur. Ia mengangkat dirinya sendiri sebagai komandan sebuah laskar untuk berjuang melawan Belanda. Naga Bonar pun menjadi tentara garis depan dalam perlawanan terhadap Belanda.
Kisah Naga Bonar yang disajikan dalam film ini, yaitu kisah cintanya pada Kirana (Nurul Arifin), kisah persahabatannya dengan Bujang (Afrizal Anoda), dan sikap patuhnya terhadap ibunya (Roldiah Matulessy) begitu kocak dan menarik untuk diikuti. Film ini diakhiri dengan orasi Naga Bonar dan Kirana kepada pemuda Indonesia.
Film yang memborong 7 Piala Citra di FFI 1987 ini diedarkan kembali di bioskop pada tahun 2008 setelah di-re-master. Naga Bonar ditayangkan lagi karena permintaan yang deras dari para penonton film Naga Bonar Jadi 2 (2007) yang ingin melihat kembali film Naga Bonar di bioskop.
4. November 1828 (1978)
November 1828 adalah film yang disutradarai oleh Teguh Karya. Menceritakan tentang sebuah kelompok penduduk desa di Jawa yang memberontak melawan pemerintahan penjajahan. Film ini mengisahkan tentang kesetiaan dan pengkhianatan. Ide cerita diilhami dari drama Monsterrat.
Film November 1828 ini dimulai ketika Kapten Van der Borst (Slamet Rahardjo), disertai pasukannya, berusaha mengorek informasi tentang lokasi persembunyian Sentot Prawirodirdjo, tangan kanan Pangeran Diponegoro. Jayengwirono, seorang demang gila jabatan, memberitahukan bahwa Kromoludiro lah yang mengetahui informasi tersebut. Kromoludiro pun ditangkap, ditawan di rumahnya sendiri, dan dengan disanderanya anak istrinya, ia dipaksa membuka mulut.
Film ini meraih Piala Citra di Festival Film Indonesia 1979 untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Teguh Karya), Fotografi (Tantra Surjadi), Musik (Franki Raden, Sardono W Kusumo, Slamet Rahardjo), Artistik (Benny Benhardi, Slamet Rahardjo), dan Pemeran Pembantu Pria Terbaik (El Manik).
3. Tjoet Nja Dhien (1986)
Setelah terlibat di beberapa pembuatan film, akhirnya Eros Djarot menyutradarai sendiri sebuah film. Adalah film besar Tjoet Nja Dhien yang dibintangi oleh Christine Hakim, yang membuatnya Christine Hakim sendiri menjadi legenda gara-gara aktingnya yang prima di film ini. Berkat perannya sebagai Tjoet Nja Dhien, setiap aktris muda menyebutnya sebagai panutan atau bintang idola. Film debut penyutradaraan Eros Djarot ini sendiri konon memerlukan waktu dua tahun untuk menyelesaikannya.
Film Tjoet Nja Dhien tak melulu berisi uraian biografis kehidupan pahlawan dari Aceh itu. Melainkan juga berisi drama, pengkhianatan, perjuangan, dan kebesaran jiwa dalam menerima penderitaan hidup. Menceritakan tentang Teuku Umar (Slamet Rahardjo) yang memimpin rakyat Aceh dalam memerangi Belanda, didampingi istrinya Tjoet Nja Dhien (Christine Hakim), dan putrinya Tjoet Gambang (Hendra Yanuarti). Teuku Umar tewas tertembak musuh, dengan tabah Tjoet Nja Dhien kemudian menggantikannya sebagai panglima perang. Setelah mengalami berbagai pertempuran, Tjoet akhirnya melemah dan akhirnya buta.
Film ini mendapatkan 8 Piala Citra di FFI 1988 dan menjadi salah satu film terlaris pada masanya dengan jumlah penonton 214.458, menurut data Perfin.
2. Lewat Djam Malam (1954)
Menceritakan tentang Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan. Iskandar (A.N. Alcaff), memutuskan untuk meninggalkan dinas ketentaraan untuk kembali kepada masyarakat sebagai penduduk sipil, ia mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah asing baginya. Tapi, ketika ia berusaha menghubungi mantan kawan-kawannya dari dinas ketentaraan untuk mencari pekerjaan, ia baru mengetahui bahwa korupsi telah merajalela dengan mengatasnamakan perjuangan. Ia muak dengan kekayaan dan cara-cara bisnis yang dilakukan oleh kawannya.
Melihat hal itu, Iskandar marah bukan main sehingga ia menyekap salah satu kawannya, Gunawan (Rd Ismail) sebagai seorang tawanan. Ia memaksa Gunawan untuk mengakui kesalahannya akan korupsi yang telah dilakukan dan Iskandar melihatnya sebagai usaha untuk menegakkan keadilan dan kemurnian perjuangan yang telah mereka raih dengan susah payah. Namun Gunawan menolak mengaku dan tidak menganggap ancaman Iskandar dengan serius walaupun Iskandar telah menodongnya dengan senapan. Karena marah, Iskandar menarik pelatuk senapan tersebut sehingga Gunawan tewas tertembak. Terkejut oleh tindakannya sendiri, Iskandar bingung dan kemudian lari, ia lupa akan jam malam yang telah ditetapkan. Ia mencoba kembali ke rumah Norma (Netty Herawati), kekasihnya. Akibatnya, ia tertembak oleh pasukan jaga jam malam dan meninggal di depan pintu rumah Norma.
Film ini adalah sebuah kritik yang tajam mengenai para pejuang kemerdekaan pasca perang. Di akhir film ini dibubuhkan kalimat, “Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besar pengorbanan nyawa mereka, supaya kita yang hidup pada saat ini dapat menikmati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri.”
Lewat Djam Malam meraih penghargaan bersama sebagai Film Terbaik di pertama kali penyelenggaraan Festival Film Indonesia, yaitu tahun 1955 bersama dengan film Tarmina (produksi 1954, disutradarai oleh Lilik Sudjio). Lewat Djam Malam juga mendapat penghargaan di kategori Pemeran Utama Pria, Pemeran Utama Wanita, dan Pemeran Pembantu Pria di ajang yang sama.
Film ini diputar kembali pada Juni 2012 setelah melalui proses restorasi di Laboratorium L’Immagine Ritrovata, Italia, bekerjasama dengan National Museum of Singapore (NMS) dan World Cinema Foundation. Film ini juga diputar pada pembukaan sub-festival Cannes Clasic dalam ajang Festival de Cannes 2012 di Cannes, Perancis.
1. Darah dan Doa (1950)
Mengisahkan perjalanan panjang prajurit Indonesia yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Rombongan hijrah prajurit dan keluarga itu dipimpin oleh Kapten Sudarto (Del Juzar). Sepanjang perjalanan, mereka menjumpai berbagai ketegangan dalam menghadapi serangan dari musuh, Belanda. Juga ketakutan dan penderitaan lainnya. Tak ketinggalan disinggung adanya pengkhianatan. Perjalanan diakhiri dengan telah diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara penuh pada 1950. Kisah ini disajikan dalam bentuk narasi.
Film Darah dan Doa (The Long March) berfokus pada Kapten Sudarto yang digambarkan bukan sebagai pahlawan, tetapi sebagai manusia biasa. Meski sudah beristri di tempat tinggalnya, selama di Yogyakarta dan dalam perjalanannya ia terlibat cinta dengan dua gadis lain. Ia sering tampak seperti peragu. Pada waktu keadaan damai datang, ia malah harus menjalani penyelidikan, karena adanya laporan dari anak buahnya yang tidak menguntungkan dirinya sepanjang perjalanan. Ia memilih tidak memenuhi panggilan penelitian dan memilih keluar dari tentara. Film diakhiri dengan ditembaknya Sudarto oleh anggota partai komunis yang diperanginya waktu terjadi Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun (1948). Suatu hal yang secara prinsip ditentangnya karena berarti perang saudara. Revolusi juga memakan korban anaknya sendiri.
Film ini memiliki arti penting dalam sejarah film nasional. Meski film cerita pertama yang dibikin di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng (1926), salah satu keputusan konferensi kerja Dewan Film Indonesia dengan organisasi perfilman pada 11 Oktober 1962, menetapkan hari syuting pertama The Long March (30 Maret) sebagai Hari Film Indonesia. Ini karena pada tanggal tersebut pada tahun 1950, untuk pertama kalinya Indonesia membuat sebuah film di mana sutradara, sebagian besar pekerjanya, dan rumah produksinya adalah bukan dari pihak asing.
Demikian saya buatkan daftar sepuluh film lawas Indonesia yang layak untuk ditonton. Daftar ini tentu saja subyektif dan dibuat berdasarkan selera saya sendiri. Film-film tersebut bisa Anda tonton di Youtube, di Sinematek, atau di program pemutaran yang diselenggarakan oleh lembaga perfilman, atau lembaga-lembaga lain. Selamat menonton!
Dedo Dpassdpe
Penonton Film
Ditulis dengan merangkum dari berbagai sumber